Humor memiliki banyak batasan pengertian, salah
satunya yang terdapat dalam Encyclopedia Of World Drama. Di situ
disebutkan yang dimaksud dengan humor atau komedi adalah sebuah imitasi dari
kejelekan-kejelekan manusia yang didramatisir sehingga menimbulkan tawa
(Majalah PENTAS I/93, hal 6). Di atas tadi disebutkan kata humor dan komedi,
apakah kedua kata tersebut sama atau berbeda? Untuk itu selain batasan yang
sifatnya luas, kita perlu mengetahui batasan pengertian yang lebih kecil. Dalam dunia perhumoran, kita mengenal istilah
humor itu sendiri, lawak, komedi, anekdot, lelucon, dagelan, bebodoran,
dan lain-lain. Sedangkan di luar negeri
kita mengenal istilah wit, pun, gag, humor, dan juga joke
Mayoritas orang tidak begitu peduli dengan berbagai istilah itu. Bagi mereka semua istilah itu sama dan
mengarah pada hal yang sama yaitu lucu.
Namun ternyata ada beberapa pakar yang membedakan pengertian-pengertian
berbagai istilah tersebut. Profesor
Danandjaja merupakan salah satu orang yang membedakan hal tersebut. Menurutnya joke (lelucon) anecdot (anekdot)
dan humor harus dibedakan (Anwari, 1999:9-10). Adapun perbedaannya adalah sebagai berikut:
Tabel
1.1. Perbedaan antara Joke (lelucon) dengan anecdot (anekdot)
Joke (lelucon)
|
Anecdot (anekdot)
|
Kisah fiktif yang lucu dari anggota suatu kelompok (folk),
seperti suku bangsa (etnis), golongan, kelas, ras, dan lain-lain
|
Kisah fiktif yang lucu dari pribadi tertentu
|
Merupakan sifat berdasarkan stereotip dari suatu kelompok, seperti
Tionghoa yang “diyakini” mata duitan, orang Arab yang “diyakini” gemar kawin,
dan sebagainya.
|
“Riwayat hidup” fiktif seorang pribadi seperti Albert Einstein yang
dianggap pikun, dan sebagainya
|
Lebih jauh lagi Danandjaja lelucon berdasarkan sasaran
ketika dilontarkan perlu dibedakan dengan humor.
Tabel
1.2. Perbedaan antara lelucon dengan humor
Lelucon
|
Humor
|
Sasaran: orang/kelompok lain
|
Sasaran: diri (pribadi) sendiri,
atau kelompoknya sendiri
|
Pelawak pembawa lelucon dapat disebut sebagai seorang badut.
|
Pelawak pembawa humor dapat disebut sebagai seorang humoris
|
Untuk istilah lain, seperti komedi, lawak dan dagelan
termasuk bebodoran akan kita bahas di bawah ini.
Tabel 1.3. Perbedaan antara komedi dengan lawak.
Komedi |
Lawak |
-
Pelakunya disebut komedian. Komedian merupakan aktor,
bukan kreator. Mereka tidak bertanggungjawab untuk menciptakan materi
kelucuan. Hanya dituntut memiliki kemampuan acting dan kemampuan
menerjemahkan naskah komedi.
-
Naskah mempunyai peran yang sangat penting. Dalam
pertujukan komedi, naskahnya memang sudah lucu.
-
Kelucuan yang tercipta adalah kolektif. Maksudnya lucu diciptakan dari gabungan berbagai
unsur seperti naskah, sutradara, lighting, kostum, make-up,
setting, property, sound effect/musik, pelaku atau komedian
yang bermain dan sebagainya.
|
-
Pelakunya disebut pelawak. Seorang pelawak adalah
seorang kreator. Mereka ahli dalam menciptakan materi-materi kelucuan. Baik
dari kecerdasannya maupun dari karunia fisik yang memang lucu. Seorang
pelawak memiliki kepekaan yang tinggi dalam mengolah kelucuan. Selain itu
mereka juga ahli improvisasi.
-
Naskah penting, namun tidak sepenting dalam komedi.
Naskah hanya digunakan untuk membingkai alur cerita saja. Selebihnya
diserahkan kepada pelakunya alias pelawak.
-
Kelucuan yang tercipta bergantung pada kemampuan
pelawak dalam mengeksplorasi tema atau alur cerita. Meski kolektivitas juga
berperan penting, akan tetapi faktor individu dari pelawak dianggap lebih
menentukan.
|
Tabel 1.4. Perbedaan antara lawak dengan dagelan.
Lawak
|
Dagelan |
Pengertian
lawak mencakup semua bentuk pementasan humor yang dilakukan para pelawak
denga latar belakang kesenian tradisional ludruk dan kethoprak, maupun oleh
para pelawak yang sama sekali tidak memiliki latar belakang pengalaman pada
dua jenis kesenian tradisional.
|
Pengertian
dagelan lebih sempit, yaitu pementasan humor sebagai selingan dalam pentas
ludruk dan kethorak.
|
(Anwari, 1999:88)
Dalam istilah luar kita mengenal pun, yaitu
sebuah permainan kata-kata. Seperti ciri khas humor verbal di luar negeri yang
suka mempermainkan kata-kata hingga timbullah kelucuan. Sedangkan wit,
merupakan semacam humor yang dilontarkan untuk menunjukkan derajat
intelektualitas seseorang. Wit popular pada abad pertengahan di
Perancis. Para ilmuwan mempunyai kebiasaan melemparkan wit, ilmuwan lain
harus melawan wit yang dilontarkan, begitu seterusnya sampai pada akhirnya
ada wit yang tak terkalahkan. Orang yang melontarkan wit terakhir
inilah yang mendapat prestis paling tinggi.
Terlepas dari perbedaan-perbedaan tersebut penulis
memilih kata humor dalam judul skripsi karena istilah humor dinilai lebih umum.
Namun tetap tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan istilah-istilah
lainnya.
“Humor itu serius”, karena sebenarnya banyak dimensi
serius yang dimiliki oleh humor.
Selayaknya ilmu pengetahuan yang lain, humor juga memiliki teori-teori
yang dapat dikaji secara keilmuan.
Selain itu dimensi keseriusan dari humor tampak dalam fungsi dari humor
itu sendiri. Alan Dundes mengatakan
bahwa fungsi yang tergolong penting dari humor adalah sebagai alat untuk
melakukan protes sosial. Dengan fungsi
tersebut humor bisa dilihat sebagai alat untuk melihat realita di masyarakat.
Karena humor dapat dengan leluasa memasuki semua wilayah yang ada dalam
masyarakat. Dia bisa masuk dalam wilayah elite politik namun juga bisa masuk
dalam wilayah rakyat biasa. Bisa dikatakan, humor dapat menjadi media yang
dapat menjembatani kepentingan pemerintah kepada rakyatnya dan rakyat kepada
pemerintahnya. Karena sering banyak hal yang tidak terkomunikasikan dengan baik
antar keduanya sehingga sering menimbulkan konflik yang tentunya merugikan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Termasuk mengganggu jalannya stabilitas nasional.
Banyaknya humor berkembang dalam masyarakat
menunjukkan masyarakat sudah dewasa, jadi jika ada humor ditanggapi dengan
kemarahan, berarti kita belum dewasa (Suhadi, 1989:58). Humor juga dapat
dipakai untuk melihat kualitas demokrasi suatu bangsa. Semakin berkembang humor
pada suatu masyarakat maka semakin dewasa masyarakat tersebut. Hal ini terkait
dengan sikap suatu bangsa dalam menyikapi kritik, terutama kritik yang disampaikan
melalui media humor.
2.
Humor dan Kritik
Humor erat kaitannya dengan kritik. Hal itu terkait
dengan salah satu fungsi humor sebagai media untuk melakukan kritik sosial.
Melalui media humor seseorang dapat melakukan kritik terhadap masalah-masalah
politik atau apa saja yang terjadi di masyarakat. Humor memungkinkan orang
dapat mengkritik dengan santun. Karena kritik yang tercipta meskipun sangat
keras dan tajam, namun tetap menghibur. Jadi kritik melalui media humor hanya
tinggal berpikir tentang kemasannya saja. Tentunya agar kritik yang disampaikan
tetap menggigit namun menggelitik. Hal serupa dikatakan oleh Suhadi, dia
mengatakan bahwa seringkali kritik sosial yang disampaikan tertulis (melalui
media cetak) rentan menimbulkan bencana. Protes sosial yang disampaikan melalui
media humor tidak mungkin ditanggapi secara serius, karena yang menyuarakannya
sama sekali tidak bertanggungjawab. Tanggung jawabnya sudah diambil kolektif
dan demikian kolektif yang bertanggungjawab (Suhadi, 1989:38).
Di negara-negara maju humor mempunyai peran yang
sangat vital dalam melakukan kontrol terhadap kinerja lembaga publik. Karena
melalui humor orang dapat secara leluasa memasuki wilayah manapun. Selain itu
kritik melalui media humor juga akan lebih masuk ke masyarakat. Karena selain
butuh kritik masyarakat juga membutuhkan hiburan sebagai media untuk melepaskan
diri dari ketegangan hidupnya. Selain itu humor merupakan media efektif untuk
membuat orang tertawa. Tertawa itu penting untuk mendewasakan kita dalam
menghadapi kenyataan (Suhadi, 1989:54).
Karl Marx mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan
kritik itu sendiri merupakan sebuah upaya untuk menegasikan sesuatu, dan dengan
demikian memelihara kebenaran yang terdapat di dalam sesuatu (http://www.marxists.org/indonesia/reference/smith/marx-hegel.htm).
Tanpa adanya kritik, berarti tidak ada yang menjalankan fungsi kontrol terhadap
sesuatu. Akhirnya banyak hal yang semakin jauh dari kebenaran. Hal ini bila
dihubungkan dengan kinerja lembaga publik akan tampak sangat jelas. Tanpa
adanya kritik sebagai social corrective maka lembaga-lembaga publik itu
akan semakin melupakan kebenaran dengan melakukan tindakan-tindakan yang
merugikan orang banyak. Selain itu dalam dunia sastra dan seni, kritik
diperlukan untuk menjaga kualitas karya seni atau sastra. Orang yang menutup
peluang kritik berarti orang itu adalah orang yang tidak mau kualitas hidupnya
semakin baik. Sama halnya dengan lembaga publik yang menolak kritik berarti
mereka menolak kebenaran.
Budaya kritik harus dilestarikan, minimal dengan
melalui media humor. Hal itu untuk menjaga agar tidak muncul kritik-kritik yang
disampaikan secara anarkis atau agresi yang lebih bersifat fisik.
3.
Humor dan Tabu
Tabu memegang peranan penting terkait dengan bahasa,
dalam hal ini bahasa yang digunakan untuk menyampaikan humor politik. Dalam ilmu semantik tabu dianggap sebagai
penyebab berubahnya makna kata. Sebuah
kata yang ditabukan tidak dipakai, kemudian digunakan kata lain yang sudah
mempunyai makna sendiri. Akibatnya kata
yang tidak ditabukan itu memperoleh beban makna tambahan. Jadi tabu tidak hanya
menyangkut ketakutan terhadap roh gaib, melainkan juga berkaitan dengan sopan
santun dan tata krama pergaulan sosial, orang yang tidak ingin dianggap “tidak
sopan” akan menghindarkan penggunaan kata-kata tertentu (Sumarsono dan Partana, 2002:106-107).
Tabu pada umumnya bisa diartikan sebagai bahasa yang dapat diterima dan tidak diterima
dalam masyarakat (Haviland, 1985:381).
Hal itu terkait penempatan kata tertentu sesuai dengan konteksnya. Konteks disini termasuk tempat, dan waktu
penyampaiannya. Setiap daerah atau
tempat memiliki kata-kata tabu tersendiri.
Suatu kata yang ditabukan di suatu daerah belum tentu di tabukan di
daerah lain. Selain itu tabu juga
terkait dengan waktu atau era. Kata-kata
tertentu yang sekarang bisa bebas kita ucapkan belum tentu dapt kita perlakukan
dengan sama pada era sebelum atau
setelah kita nanti.
James
Danandjaja juga memasukkan
kata tabu dalam salah satu sifat-sifat humor yang dapat memicu tawa. Sifat humor yang dimaksud adalah
sifat melanggar tabu, yakni mengungkapkan kata-kata yang dianggap tidak senonoh
oleh adat masyarakatnya, seperti yang berhubungan dengan seks, atau melecehkan
pemimpin negara atau orang tua kita (Anwari, 1999:6).
Artinya,
setiap hal yang melanggar tabu sangat berpotensi untuk mengundang tawa. Akan tetapi bukan berarti setiap orang yang ingin
mengundang tawa harus melanggar tabu. Karena masih banyak sifat-sifat humor
lainnya yang dapat mengundang tawa. Selain itu humor yang tercipta melalui
hal-hal yang bersifat tabu cukup sensitif bagi masyarakat, terutama masyarakat
kita yang masih berpegang teguh pada adat ketimuran. Misalnya ingin mengangkat masalah
yang dianggap tabu, benar-benar harus dipikirkan kemasan yang tidak mengusik
sensitivitas tersebut. Minimal tetap berpegang teguh pada norma dan etika
dimana humor itu akan dipublikasikan.
Akan tetapi
fenomena di atas masih berhenti dalam tataran idealitas. Faktanya, masih banyak pelaku humor di Indonesia yang terus
menerus mengeskploitasi masalah seks dengan sangat vulgar. Etika yang
seharusnya, tergadaikan oleh hasrat kapitalis industri televisi termasuk pelaku
humor itu sendiri. Hal ini jika dibiarkan terus menerus akan menyebabkan
degradasi moral yang semakin mengkhawatirkan.
Kekhawatiran
ini semakin dipertajam oleh ulah para pelaku humor yang mulai tidak santun
dalam melontarkan kritik. Sehingga dapat mengganggu stabilitas politik nasional
yang sedang ditata ulang. Euphoria
reformasi yang berujung pada kebebasan berekspresi diartikan salah oleh
sebagian kalangan. Kebebasan yang dimaksud bukanlah kebebasan yang
sebebas-bebasnya namun kebebasan yang bertanggungjawab. Termasuk dalam
melontarkan kritik. Kritik yang baik adalah kritik yang bertanggungjawab.
Sebuah kritik yang tercipta harus didasari data yang benar-benar akurat. Karena
kalau tidak yang terjadi akhirnya asal mengkritik. Seperti yang terjadi pada
pelawak-pelawak kita yang sering mengkritik padahal tidak tahu benar apa yang
dikritik. Kritik hanya menjadi sebuah tren reformasi. Rasanya belum lengkap
jika kita belum mengkritik. Akibatnya kritik bergeser dari kewajiban menjadi
ajang untuk gengsi-gengsian. Parahnya lagi, pelawak-pelawak kita banyak yang
tidak tahu ilmu mengkritik. Meskipun itu sebuah kritik namun tetap harus
santun. Tidak boleh menyinggung pribadi seseorang secara terang-terangan
apalagi melecehkan. Menurut Kelik Pelipur Lara pelecehan itu bukan humor.
Kritik harus etis dan estetis. Selain itu kritik harus solutif, jadi tidak waton.
Kritik yang baik adalah kritik yang asosiatif.
Artinya pelawak hanya menciptakan wacana. Sedangkan yang memutuskan adalah audiens.
Terkait dengan seni, Hebert Marcuse mengatakan bahwa
seni sebagai sebuah institusi ditabukan untuk menghasilkan agresivitas,
diskriminasi dan pandangan chauvinistic; sementara bagi seni lawak agresivitas,
diskriminasi, dan pandangan chauvinistic justru harus dijadikan tema yang tak
henti-hentinya dieksplorasi untuk dikritik secara cerdas melalui banyolan
(Anwari, 1999:29). Pemaparan di atas
menunjukkan bahwa tabu tergantung juga pada konteksnya. Di negara kita ada beberapa kata atau kalimat
tabu menyangkut masalah seks, ras, agama, dan juga politik. Diantara tabu-tabu tersebut, tabu agama, ras,
dan politik perlu mendapat perhatian yang lebih. Karena tak jarang orang yang akhirnya
mendekam di balik tralis besi gara-gara permasalahan tersebut.
Ketika rezim Orde Baru masih berkuasa sangat terasa
pendeklarasian berbagai kata atau kalimat tabu.
Tabu di sini menyangkut tabu politik terutama yang menyangkut pribadi
Soeharto[1],
keluarga dan kroni-kroninya. Mengkritik
istitusi pemerintah dianggap mengkritik pribadi yang berdiri di balik institusi
tersebut. Tabu politik ini juga menyelimuti
dunia pertelevisian kita. Tidak hanya
TVRI yang kebetulan merupakan perusahaan televisi miliki negara, namun termasuk
juga televisi swasta yang kebetulan dimiliki oleh keluarga dan kroni Soeharto.
4.
Peran Televisi
Perkembangan teknologi televisi turut memepengaruhi
perkembangan kehidupan humor di Indonesia.
Selain masalah pergantian format penyajian. Kehadiran televisi juga memungkinkan sebuah
tayangan humor dapat dinikmati khalayak yang lebih luas. Beberapa karakteristik televisi sebagai salah
satu bagian dari komunikasi massa memunculkan permasalahan tersendiri bagi
perkembangan humor.
Dunia humor semakin bergejolak ketika perkembangan
teknologi akhirnya memunculkan sejumlah stasiun televisi swasta di
Indonesia. Perkembangan ini menyediakan
alternatif pilihan bagi para seniman humor untuk berkreasi dan mengembangkan
karya-karya humornya.
5.
Demokratisasi, Ruang Publik dan Komunikasi Politik
Proses demokratisasi di Indonesia tidak bisa lepas
dari momentum reformasi 1998. Reformasi
sendiri merupakan sebuah upaya untuk membuka saluran-saluran komunikasi politik
dalam masyarakat yang plural. Keberadaan komunikasi politik sangat penting
dalam sebuah negara yang berciri demokrasi. Seperti dikatakan oleh Chesney seperti dikutip oleh Agus Sudibyo (Wibowo
(edit.), 2005:118), bahwa salah satu ciri negara demokrasi adalah adanya komunikasi politik yang
memungkinkan masyarakat terlibat aktif dalam proses pembentukan kebijakan
publik. Hal itu senada dengan pernyataan Habermas, seperti dikutip oleh
F. Budi Hardiman (Wibowo (edit.), 2005:50), yaitu, “negara hukum modern berciri
demokratis, jika terjadi komunikasi politis intensif antara ruang publik dan
sistem politik” Jadi yang terpenting
dari sebuah negara demokratis adalah adanya sinergi antara ruang publik dengan
sistem politik. Komunikasi merupakan jembatan ataupun media yang menghubungkan
kedua entitas tersebut. Namun selama Orde Baru berkuasa saluran komunikasi
politik tersumbat. Ruang publik untuk berkomunikasi politik pun tidak tersedia,
karena semuanya telah dikuasai Orde Baru. Media massa juga tidak berkutik untuk
melakukan perlawanan yang berarti. Di saat negara semakin parah karena krisis
moneter, rakyat Indonesia dengan mahasiswa sebagai garda depannya memilih untuk
menggunakan saluran pengerahan massa atau demonstrasi.
Demonstrasi merupakan fenomena kontemporer dalam
proses demokratisasi di Indonesia yang menandai dimulainya reformasi. Bahkan
sampai saat ini pun demonstrasi masih sering digelar. Sepertinya kurang afdol
jika dalam sebuah berita tidak ada liputan tentang demonstrasi. Wacana
demonstrasi yang mewabah di negara ini merupakan pertanda adanya perubahan
wacana publik yang bersifat terbuka, heterogen dan penggunaan bahasa politik
yang langsung, dan terang-terangan. Jauh berbeda dengan masa sebelumnya ketika
Orde Baru yang penuh dengan ketertutupan, homogenitas dan euphemisme politik
(Ali,1999:x). Kondisi seperti itu membuat pemerintah mempunyai peran yang
sangat sentral dalam komunikasi untuk membentuk opini publik. Jadi yang kita
ketahui selama 32 tahun kemarin adalah opini publik yang dibentuk oleh rezim
Orde Baru.
Sekarang, setelah reformasi bergulir, kondisipun
berubah. Prakarsa komunikasi dalam pembentukan opini publik, lebih banyak
datang dari anggota masyarakat. Hal ini berkaitan dengan makin lemahnya
hegemoni pemerintah sebagai satu-satunya penafsir tunggal berbagai peristiwa
politik (Ali, 1999:x). Namun ternyata kondisi ini bukan kondisi terbaik yang
dapat membangun bangsa ini menjadi lebih baik. Belenggu Orde Baru ternyata telah
menimbulkan trauma tersendiri bagi sebagian besar anggota masyarakat. Ketika
rezim itu runtuh, masyarakat pun berlomba-lomba untuk terbuka, untuk menghujat,
dan untuk terus melawan apa saja yang berbau dengan Orde Baru.
Semua
norma, sikap dan perilaku politik masa lalu itu ditolak dan dihujat demi
reformasi. Protes massa terjadi dimana-mana. Banyak keputusan politik, gagal
atau tertunda lantaran aksi massa. Unjuk rasa yang dilandasi oleh semangat
demokrasi, segera menjadi kerusuhan dan anarkhi, karena warisan otoritarianisme
Orba belum hilang dalam kultur kita (Ali, 1999:x).
Tidak selamanya kebebasan membawa kepada kebaikan,
jika tidak bisa menyikapi kebebasan itu dengan tanggungjawab yang sama.
Demokratis artinya rakyat mempunyai kedaulatan tertinggi, itu benar. Namun
dalam pelaksanaannya, kedaulatan tersebut diimplementasikan untuk melakukan
kontrol terhadap kinerja pemerintah. Itupun harus dilakukan dengan mekanisme
yang benar, agar tidak mengganggu kepentingan umum. Tidak seperti yang terjadi
sekarang, hampir kebanyakan demonstrasi berujung pada sikap-sikap anarkisme.
Yang terjadi, bukannya negara semakin sejahtera namun justru semakin sengsara.
Orang sering asal demo, setiap kebijakan yang mereka anggap tidak memihak
rakyat mereka demo besar-besaran. Akan tetapi lagi-lagi cara yang digunakan
salah, demonstrasi yang dilakukan secara besar-besaran tentunya akan mengganggu
ketertiban umum. Dalam kerangka pemikiran yang lebih jauh, hal itu akan
menghambat proses stabilisasi ekonomi di negara kita. Kemacetan jalan, rusaknya
fasilitas umum, perilaku yang tidak beretika berdampak pada menurunnya nilai
investasi di negara kita, yang berujung pada keadaan ekonomi yang tidak stabil.
Tentunya ini tidak menguntungkan bagi kita.
Dulu,
rakyat sangat lemah di depan penguasa, lalu lahir arogansi kekuasaan. Sekaramg
sebaliknya, penguasa lemah dan rakyat kuat. Kekuasaan rakyat pun ternyata bisa
menjadi arogan. Penjarahan dan kerusuhan, termasuk pemaksaan kehendak melalui
aksi-aksi massa, adalah realitas politik yang sering kita saksikan sekarang
ini. Agaknya, arogansi rakyat telah membuat mereka sudah kebablasan dalam
memahami demokrasi sehingga makna demokrasi berubah menjadi anarkisme politik
(Ali,1999:xii).
Lalu, seperti apa yang seharusnya dilakukan untuk
menjadi negara demokratis? Inti dari demokrasi menurut John Durham Peters
(1995:3) adalah bagaimana the rule of the people terjadi dalam praktik
politik. “Syarat demokrasi”, lanjutnya, “Bagaimana rakyat mampu mengambil
bagian dalam diskusi dan pengambilan keputusan politik”. Rakyat memang harus
terlibat dalam proses pengambilan keputusan maupun kebijakan publik. DPR (Dewan
Perwakilan Rakyat) dan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) harusnya melakukan
fungsinya dengan baik dalam mengemban tugas menjadi wakil rakyat. Tidak mungkin
semua rakyat dapat turut dalam berdiskusi, karena demokrasi kita bukanlah
demokrasi langsung. Namun hal tersebut setidaknya dapta disiasati misalnya
dengan menayangkan secara live jalannya rapat-rapat pemerintah maupun
rapat-rapat di DPR dan MPR.
Terkait dengan tayangan live di atas, mau tidak
mau instrumen yang harus digunakan adalah media massa. Namun sepertinya hal di
atas tidak diimplementasikan dengan baik oleh media massa. Entah karena elit
politik yang melarang atau media massa yang tidak mau meliput, karena
menganggap tayangan seperti itu tidak menguntungkan secara kapital. Kita
sepertinya harus kecewa dengan perkembangan mutakhir yang terjadi di negara
kita. Merujuk pada pengalaman berbagai negara yang menunjukkan bahwa, potensi
demokratis media akan tenggelam ketika
negara atau modal (atau kombinasi keduanya) mulai mendominasi atau mengambil
alih fungsi ruang publik (Chesney, 1997 dikutip oleh Agus Sudibyo dalam Wibowo
(edit.), 2005:123). Orde Baru telah tumbang, rezim telah berganti, dan kondisi
politik berkembang dengan cepat. Namun ternyata hal itu tidak dialami oleh
ruang publik di negara ini. Apa yang terjadi pada ruang publik belakangan ini
tidak ada bedanya dengan era Orde Baru. Banyak dijumpai hambatan-hambatan
struktural yang mengakibatkan media kesulitan untuk mempertahankan netralitas
dan independensinya dalam meliput fakta-fakta konflik.
Jadi anggapan yang mengatakan media sesungguhnya tidak
pernah menjadi entitas yang benar-benar bebas dan independen memang benar
terjadi. Setidaknya ada dua macam rezim
yang turut mengintervensi media, yaitu rezim politik yang represif dan juga
rezim pasar. Padahal, dalam proses demokratisasi, media bisa mewujudkan ruang
publik yang kondusif bagi bersemainya benih-benih masyarakt madani.
Potensi
demokratis media terutama terletak dalam penciptaan ruang publik. Suatu area di
mana seluruh anggota masyarakat dapat berinteraksi, bertukar pikiran dan
berdebat tentang masalah-masalah politik, tanpa perlu merisaukan intervensi
penguasa ekonomi atau penguasa politik. Konsep ruang publik menuntut perlakuan
yang sama dalam memberitakan masalah-masalah publik, tanpa memandang siapa yang
berbicara atau siapa yang sedang diberitakan (Sudibyo, 2005:122-123).
Ruang publik dalam benak Habermas merupakan cerminan
kualitas kedewasaan masyarakat dalam alam demokratis. Demokrasi menurut
Habermas hanya akan terjadi dalam masyarakat dewasa (Mundigkeit), dimana
ideologi-ideologi ditanggalkan dalam praktek komunikasi. Ruang publik yang
sehat menjadi infrastruktur utama dalam demokrasi (Wibowo (edit.), 2005:28).
Humor khususnya humor politik merupakan wahana alternatif dalam membangun ruang
publik yang lebih sehat di negara kita. Ketika saluran-saluran lain tidak bisa
dimanfaatkan lebih maksimal. Humor menawarkan sebuah langkah komunikasi politik
yang lebih sehat, dengan jaminan tidak adanya tindak anarkisme. Seperti jika
komunikasi politik dilakukan melalui demonstrasi.
Sumber : Lupa lagi
0 Comments