Oleh: Novi Hardianto
Law Enforcement and Wildlife Trade Officer, WWF-Indonesia
Editor: Nur Arinta
Tingginya kekayaan keanekaragaman hayati di Indonesia membuat negara ini
menjadi tempat asal distribusi dan pasar penjualan satwa liar terancam
punah dan bernilai tinggi. Salah satu satwa yang menjadi target
incaran perburuan dan perdagangan ilegal saat ini adalah
Trenggiling Sunda (Manis javanica). Spesies ini diperdagangkan
untuk dikonsumsi bagian tubuhnya, seperti daging, lidah, kulit, dan
sisik yang dipercaya berkhasiat sebagai obat tradisional bagi
masyarakat Tiongkok dan juga sebagai bahan baku narkoba. Mengonsumsi
bagian tubuh Trenggiling yang dinilai makanan eksotis juga dipandang
sebagai salah satu hal yang bergengsi (Zhou, 2014). Sebelum dikenal
sebagai bahan baku obat tradisional Tiongkok, sisik Trenggiling
dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan kerajinan tas, dompet dan
aksesoris lainnya. Sedangkan dagingnya dimanfaatkan sebagai hidangan
mewah dan sumber protein bagi masyarakat lokal.
Trenggiling merupakan salah satu satwa yang paling diminati di pasar
gelap global. Kebutuhan daging dan sisiknya di Tiongkok diperkirakan
sekitar 100.000–135.000 kg per tahun. Perdagangan Trenggiling telah
terjadi sejak tahun 1990-an, dimana saat itu Trenggiling diekspor dari
Indonesia ke luar negeri (Mohapatra, 2015). Data dari Tirto.id
menyebutkan bahwa antara tahun 1999 hingga 2017, setidaknya terdapat
192.567 individu Trenggiling terlibat dalam perdagangan ilegal.
Dalam melancarkan aksinya, bagian tubuh Trenggiling maupun Trenggiling
utuh diselundupkan dengan berbagai macam cara. Kelompok penyelundup
bergerak sangat cepat dengan menggunakan lebih dari 150 rute
yang berbeda-beda dan menambah hampir 30 rute baru setiap tahun.
Trenggiling adalah mamalia unik bersisik satunya-satunya dari famili Pholidota.
Sisik pada Trenggiling yang berfungsi sebagai alat berlindung dari
mangsa, sayangnya kini menjadi ancaman karena menjadi target perburuan
liar dan membawanya ke dalam status Kritis (Critically Endangered/CR)
berdasarkan daftar merah lembaga konservasi dunia, IUCN. Padahal
spesies ini merupakan satwa dilindungi dalam UU Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Tak hanya
itu, statusnya dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) adalah Appendix 1 yang artinya tidak boleh diperjualbelikan.
Mengapa sisik Trenggiling dipakai sebagai salah satu bahan baku narkoba?
Ternyata sisiknya punya kandungan zat adiktif Tramadol HCI yang
merupakan zat adiktif analgesik untuk mengatasi nyeri, serta merupakan
partikel pengikat zat pada psikotropika jenis sabu-sabu.
Sayangnya, jumlah populasi Trenggiling di alam Indonesia sampai
saat ini belum diketahui secara pasti. Hal ini menjadi hambatan
dalam konservasi Trenggiling itu sendiri. Namun, terjadinya perburuan
dan perdagangan ilegal Trenggiling yang merajalela jelas membuat
populasinya turun drastis. Penurunan spesies ini bertambah karena
rentang masa hidupnya yang hanya mencapai usia maksimal 7 tahun, serta
lemahnya penegakan hukum bagi pelaku perburuan dan perdagangan.
Masih adanya kasus kepemilikan dan perdagangan sisik Trenggiling bahkan
juga terjadi di kawasan Jantung Borneo, sebuah kawasan hutan tropis
Borneo yang menjadi kawasan inisiatif tiga negara yakni Brunei
Darussalam dan Indonesia.
Hasil Investigasi yang dilakukan di Desa Balai Karangan,
Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, pada Desember
2018 seolah menegaskan Indonesia terutama Kalimantan masih menjadi
wilayah pemasok untuk perdagangan Trenggiling.Hasil tangkapan
Trenggiling biasanya dikirim dan dapat menembus perbatasan antarnegara
secara tersembunyi dengan dalih mengirimkannya bersama hasil bumi
yang dijual. Perlu verifikasi dan pendalaman lebih lanjut
mengenai cara pengiriman antar negara dan kemungkinan oknum terkait yang
bermain dalam perdagangan Trenggiling di perbatasan antar negara.
Walaupun tidak diketahui jumlah populasinya, namun informasi yang
didapatkan bahwa satwa ini sudah sulit ditemui di alam. Apa dampak
hilangnya Trenggiling di alam? Trenggiling di alam memang tidak
berdampak langsung terhadap manusia, namun peranan ekologis sebagai
satwa yang suka menggali tanah di hutan untuk mencari semut atau
serangga lainnya, mampu untuk menggemburkan hutan dan melancarkan
siklus biogeokimia hutan. Perilaku memakan semut atau serangga kayu
lainnya juga menjaga proses regenerasi pohon secara tidak langsung
yang menjadi penyedia oksigen bagi manusia. Dengan banyaknya peranan
Trenggiling bagi ekosistem dan keperluan menjaga populasinya di alam,
menjadi tantangan bersama dalam perlindungan Trenggiling di Indonesia.
Menurut IUCN Pangolin Specialist Group, Trenggiling Sunda akan punah di
alam liar jika kita tidak menghentikan perburuan ilegal dan perdagangan.
Terdapat beberapa solusi untuk mempersempit perdagangan Trenggiling
dan memperlambat laju kepunahan di Indonesia, di antaranya: Koordinasi
dan kerjasama dengan aparat hukum, Dirjen Bea Cukai dan Pusat Pelaporan
Analisis Transakasi Keuangan (PPATK); Mendorong pengadilan dan
kejaksaan dalam pemberian hukuman yang berat bagi pelaku kepemilikan
dan perdagangan Trenggiling; Dan mendorong pemerintah untuk merampungkan
revisi UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistemnya.
Mari bersama kita tumpas perdagangan Trenggiling dan satwa liar
dilindungi lainnya. Anda dapat turut berkontribusi terhadap upaya
pemberantasan perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa liar dilindungi
dengan menjadi pengawas. Awasi dan laporkan bila Anda menemukan praktik
perdagangan terlarang ini, melalui aplikasi e-Pelaporan Satwa Liar Dilindungi.
https://www.wwf.or.id/?72302/Trenggiling-Sunda-Manis-javanica-Manis-Namanya-Tak-Semanis-Nasibnya
0 Comments