BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengan bergulirnya reformasi untuk menuju
supremasi hukum, penegakan hukum merupakan salah satu cara utama yang harus
dibenahi dan dikokohkan untuk mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan yang
bersih dan berwibawa. Dewasa ini, mulai banyak bermunculan permasalahan rumit
yang sedang dihadapai oleh negara Indonesia. Permasalahan ini sudah mencakup
banyak aspek, mulai dari aspek ekonomi, sosial, budaya, politik, hingga
pertahanan keamanan. Dalam era reformasi ini, setelah tumbangnya pemerintahan
Orde Baru, agenda yang menjadi sorotan utama adalah masalah pemberantasan
kasus-kasus korupsi. Masalah inilah yang merupakan salah satu penyebab utama
runtuhnya pemerintahan Orde Baru. Di dalam pemilu pun, agenda pemberantasan
korupsi merupakan isu yang layak jual untuk menarik massa.
Korupsi di Indonesia seakan telah menjadi
budaya yang memasuki berbagai bidang kehidupan, apalagi di sektor birokrasi
kita yang sudah terkenal sangat sophisticated dalam berkorupsinya. Hal ini
diperkuat oleh data survey lembaga internasional yang menyatakan bahwa
Indonesia termasuk dalam jajaran sepuluh besar negara terkorup. Hal ini sungguh
merupakan sesuatu yang memperihatinkan yang harus segera mendapatkan perhatian
dari segenap bangsa Indonesia. Pasca reformasi, pemerintah semakin gencar
berusaha untuk memusnahkan tindakan-tindakan korupsi yang telah terlanjur
menjadi budaya di Indonesia. Dalam memberantas budaya korupsi di Indonesia,
pemerintah juga telah membuat lembaga-lembaga, badan-badan, atau komisi-komisi
yang tupoksinya terkait dengan usaha-usaha pemeberantasan korupsi. Lembaga,
badan, atau komisi tersebut antara lain, MA, BPK, KPK, Kepolisisan,
Timtastipikor, KY, BPKP, dan Kejaksaan Agung, yang dalam menjalankan tugasnya
semuanya saling terkait dan saling mendukung dalam sebuah sistem yang dibentuk
oleh pemerintah. Namun, dalam makalah ini penulis hanya membahas tentang
lembaga Badan Pemeriksa Keuangan.
Badan pemeriksa Keuangan merupakan lembaga
negara tertua yang bertugas menanggulangi dan memberantas terjadinya tindak
pidana korupsi dibandingkan dengan lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia
dibandingkan dengan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atau lembaga yang diberi nama Tim Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (Timtastipikor). Rumusan tentang Badan Pemeriksa Keuangan
ini telah sejak negara kesatuan Republik Indonesia berdiri dan dimuat dalam
Undang-undang dasar 1945.
B.Rumusan Masalah
1.
Bagaimana latar belakang atau sejarah lahirnya
Badan Pemeriksa Keuangan?
2.
Bagaimana kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia?
3.
Bagaimana fungsi dan wewenang Badan Pemeriksa
Keuangan?
4.
Bagaimana pola hubungan antara lembaga Badan
Pemeriksa Keuangan dengan lembaga lainnya?
C.Tujuan Masalah
1.
Mengetahui
latar belakang atau sejarah lahirnya Badan Pemeriksa Keuangan.
2.
Mengetahui kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
3.
Mengetahui fungsi dan kewenangan Badan
Pemeriksa Keuangan.
4.
Mengetahui pola hubungan antara lembaga Badan
Pemeriksa Keuangan dengan lembaga lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Dibentuknya Badan Pemeriksa Keuangan
Cikal bakal ide pembentukan Badan Pemeriksa
Keuangan berasal dari Raad van Rekenkamer pada zaman Hindia Belanda.
Beberapa Negara lain juga mengadakan lembaga yang semacam ini untuk menjalankan
fungsi-fungsi pemeriksaan atau sebagai external auditor terhadap kinerja
keuangan pemerintah. Misalnya, di RRC juga terdapat lembaga konstitusional yang
disebut Yuan Pengawas Keuangan sebagai salah satu pilar kelembagaan Negara yang
penting. Fungsi pemeriksaan keuangan yang dikaitkan dengan lembaga ini
sebenarnya terkait erat dengan fungsi pengawasan oleh parlemen. Oleh karena
itu, kedudukan kelembagaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ini sesungguhnya
berada dalam ranah kekuasaan legislative, atau sekurang-kurangnya berhimpitan
dengan fungsi pengawasan yang dijalankan oleh DPR. Oleh karena itu, laporan
hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK ini harus dilaporkan atau disampaikan
kepada DPR untuk ditindaklanjuti sebagaimana mestinya.[1]
Sebelum dilakukan perubahan UUD 1945,
kelembagaan BPK diatur dalam Pasal 23 ayat (5) berada dalam Bab VIII tentang
Hal Keuangan. Pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945 menetapkan bahwa untuk memeriksa
tanggung jawab tentang Keuangan Negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan
yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hasil pemeriksaan itu
disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan amanat UUD Tahun 1945
tersebut telah dikeluarkan Surat Penetapan Pemerintah No.11/OEM tanggal 28
Desember 1946 tentang pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan, pada tanggal 1
Januari 1947 yang berkedudukan sementara di kota Magelang. Pada waktu itu Badan
Pemeriksa Keuangan hanya mempunyai 9 orang pegawai dan sebagai Ketua Badan
Pemeriksa Keuangan pertama adalah R. Soerasno. Untuk memulai tugasnya, Badan
Pemeriksa Keuangan dengan suratnya Nomor : 941 tanggal 12 April 1947 telah
mengumumkan kepada semua instansi di Wilayah Republik Indonesia mengenai tugas
dan kewajibannya dalam memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara, untuk
sementara masih menggunakan peraturan perundang-undangan yang dulu berlaku bagi
pelaksanaan tugas Algemene Rekenkamer (Badan Pemeriksa Keuangan Hindia Belanda),
yaitu ICW dan IAR.
Dalam Penetapan Pemerintah Nomor : 6 Tahun 1948
tanggal 6 Nopember 1948 tempat kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan dipindahkan
dari Magelang ke Yogyakarta. Negara Republik Indonesia yang ibukotanya di
Yogyakarta tetap mempunyai Badan Pemeriksa Keuangan sesuai ketentuan Pasal 23
ayat (5) UUD Tahun 1945; Ketuanya diwakili oleh R. Kasirman yang diangkat
berdasarkan SK Presiden RI tanggal 31 Januari 1950 No.13/A/1950 terhitung mulai
1 Agustus 1949.
Dengan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan Piagam Konstitusi RIS tanggal 14 Desember 1949, maka dibentuk Dewan Pengawas Keuangan (berkedudukan di Bogor) yang merupakan salah satu alat perlengkapan negara RIS, sebagai Ketua diangkat R. Soerasno mulai tanggal 31 Desember 1949, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta. Dewan Pengawas Keuangan RIS berkantor di Bogor menempati bekas kantor Algemene Rekenkamer pada masa pemerintah Netherland Indies Civil Administration (NICA).
Dengan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan Piagam Konstitusi RIS tanggal 14 Desember 1949, maka dibentuk Dewan Pengawas Keuangan (berkedudukan di Bogor) yang merupakan salah satu alat perlengkapan negara RIS, sebagai Ketua diangkat R. Soerasno mulai tanggal 31 Desember 1949, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta. Dewan Pengawas Keuangan RIS berkantor di Bogor menempati bekas kantor Algemene Rekenkamer pada masa pemerintah Netherland Indies Civil Administration (NICA).
Dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950, maka Dewan Pengawas Keuangan RIS yang
berada di Bogor sejak tanggal 1 Oktober 1950 digabung dengan Badan Pemeriksa
Keuangan berdasarkan UUDS 1950 dan berkedudukan di Bogor menempati bekas kantor
Dewan Pengawas Keuangan RIS. Personalia Dewan Pengawas Keuangan RIS diambil
dari unsur Badan Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta dan dari Algemene Rekenkamer
di Bogor.
Pada Tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkan Dekrit Presiden RI yang menyatakan berlakunya kembali UUD Tahun 1945. Dengan demikian Dewan Pengawas Keuangan berdasarkan UUD 1950 kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan Pasal 23 (5) UUD Tahun 1945. Meskipun Badan Pemeriksa Keuangan berubah-ubah menjadi Dewan Pengawas Keuangan RIS berdasarkan konstitusi RIS Dewan Pengawas Keuangan RI (UUDS 1950), kemudian kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUD Tahun 1945, namun landasan pelaksanaan kegiatannya masih tetap menggunakan ICW dan IAR. Dalam amanat-amanat Presiden yaitu Deklarasi Ekonomi dan Ambeg Parama Arta, dan di dalam Ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960 serta resolusi MPRS No. 1/Res/MPRS/1963 telah dikemukakan keinginan-keinginan untuk menyempurnakan Badan Pemeriksa Keuangan, sehingga dapat menjadi alat kontrol yang efektif. Untuk mencapai tujuan itu maka pada tanggal 12 Oktober 1963, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 7 Tahun 1963 (LN No. 195 Tahun 1963) yang kemudian diganti dengan Undang-Undang (PERPU) Nomor : 6 Tahun 1964 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Gaya Baru.
Pada Tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkan Dekrit Presiden RI yang menyatakan berlakunya kembali UUD Tahun 1945. Dengan demikian Dewan Pengawas Keuangan berdasarkan UUD 1950 kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan Pasal 23 (5) UUD Tahun 1945. Meskipun Badan Pemeriksa Keuangan berubah-ubah menjadi Dewan Pengawas Keuangan RIS berdasarkan konstitusi RIS Dewan Pengawas Keuangan RI (UUDS 1950), kemudian kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUD Tahun 1945, namun landasan pelaksanaan kegiatannya masih tetap menggunakan ICW dan IAR. Dalam amanat-amanat Presiden yaitu Deklarasi Ekonomi dan Ambeg Parama Arta, dan di dalam Ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960 serta resolusi MPRS No. 1/Res/MPRS/1963 telah dikemukakan keinginan-keinginan untuk menyempurnakan Badan Pemeriksa Keuangan, sehingga dapat menjadi alat kontrol yang efektif. Untuk mencapai tujuan itu maka pada tanggal 12 Oktober 1963, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 7 Tahun 1963 (LN No. 195 Tahun 1963) yang kemudian diganti dengan Undang-Undang (PERPU) Nomor : 6 Tahun 1964 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Gaya Baru.
Untuk mengganti PERPU tersebut, dikeluarkanlah
Undang-undang Nomor 17 Tahun Tahun 1965 yang antara lain menetapkan bahwa
Presiden, sebagai Pemimpin Besar Revolusi pemegang kekuasaan pemeriksaan dan
penelitian tertinggi atas penyusunan dan pengurusan Keuangan Negara. Ketua dan
Wakil Ketua BPK RI berkedudukan masing-masing sebagai Menteri Koordinator dan
Menteri.
Akhirnya oleh MPRS dengan Ketetapan No.X/MPRS/1966 Kedudukan BPK RI dikembalikan pada posisi dan fungsi semula sebagai Lembaga Tinggi Negara. Sehingga UU yang mendasari tugas BPK RI perlu diubah dan akhirnya baru direalisasikan pada Tahun 1973 dengan UU No. 5 Tahun 1973 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Akhirnya oleh MPRS dengan Ketetapan No.X/MPRS/1966 Kedudukan BPK RI dikembalikan pada posisi dan fungsi semula sebagai Lembaga Tinggi Negara. Sehingga UU yang mendasari tugas BPK RI perlu diubah dan akhirnya baru direalisasikan pada Tahun 1973 dengan UU No. 5 Tahun 1973 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Dalam era Reformasi sekarang ini, Badan
Pemeriksa Keuangan telah mendapatkan dukungan konstitusional dari MPR RI dalam
Sidang Tahunan Tahun 2002 yang memperkuat kedudukan BPK RI sebagai lembaga
pemeriksa eksternal di bidang Keuangan Negara, yaitu dengan dikeluarkannya TAP
MPR No.VI/MPR/2002 yang antara lain menegaskan kembali kedudukan Badan
Pemeriksa Keuangan sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan
negara dan peranannya perlu lebih dimantapkan sebagai lembaga yang independen
dan profesional.
Untuk lebih memantapkan tugas BPK RI, ketentuan yang mengatur BPK RI dalam UUD Tahun 1945 telah diamandemen. Sebelum amandemen BPK RI hanya diatur dalam satu ayat (pasal 23 ayat 5) kemudian dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 dikembangkan menjadi satu bab tersendiri (Bab VIII A) dengan tiga pasal (23E, 23F, dan 23G) dan tujuh ayat. Untuk menunjang tugasnya, BPK RI didukung dengan seperangkat Undang-Undang di bidang Keuangan Negara, yaitu;
Untuk lebih memantapkan tugas BPK RI, ketentuan yang mengatur BPK RI dalam UUD Tahun 1945 telah diamandemen. Sebelum amandemen BPK RI hanya diatur dalam satu ayat (pasal 23 ayat 5) kemudian dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 dikembangkan menjadi satu bab tersendiri (Bab VIII A) dengan tiga pasal (23E, 23F, dan 23G) dan tujuh ayat. Untuk menunjang tugasnya, BPK RI didukung dengan seperangkat Undang-Undang di bidang Keuangan Negara, yaitu;
- UU No.17 Tahun 2003 Tentang keuangan Negara
- UU No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan
Negara
- UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
B. Kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan dalam
Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah badan
yang memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara yang dalam pelaksanaan
tugasnya bebas dan mandiri serta tidak berdiri di atas pemerintahan. BPK
merupakan lembaga tinggi negara yang berwenang untuk mengawasi semua kekayaan
negara yang mencakup pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, dan
lembaga negara lainnya. BPK berkedudukan di Jakarta dan memiliki perwakilan di
provinsi.
Adapun
mengenai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) jelas lembaga kenegaraan ini mengambil
alih fungsi Algemeene Rekenkamer. Bahkan Indische Comptabilietswet
(ICW) dan Indische Bedrijvenswet (IBW) tetap lestari menjadi acuan
kerja BPK sampai munculnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, tentang Keuangan
Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004, tentang Perbendaharaan Negara.
Bahkan Soepomo sendiri secara eksplisit mengatakan bahwa badan ini '... dulu
dinamakan Rekenkamer.[2]
Selanjutnya,
kedudukan BPK ini terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah. Akan tetapi
tidak berdiri di atas Pemerintah. Lebih jauh hasil pemeriksaan BPK itu
diberitahukan kepada DPR.[3]
Artinya, BPK hanya wajib melaporkan hasil pemeriksaannya kepada DPR. Dengan
demikian BPK merupakan badan yang mandiri, serta bukan bawahan DPR. Hal yang
sama dijumpai pula pada hubungan kerja antara Algemeene Rekenkamer
dengan Volksraad.
Kedudukan
BPK juga terdapat dalam pasal 2 yang berbunyi :
BPK
merupakan satu lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa
pengelolaan dan tanggungjawab keuangan Negara. [4]
Sedangkan
pasal 3 berbunyi:
1.
BPK berkedudukan diibukota Negara.
2.
BPK memiliki perwakilan disetiap provinsi.
3.
Pembentukan perwakilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan BPK dengan mempertimbangkan kemampuan
keuangan negara,
Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK) Sebagai
Pemegang Kekuasaan Auditatif.
Pada dasarnya Badan Pemeriksa Keuangan bertugas melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan negara. Dengan adanya pengawasan tersebut diharapkan tidak terjadi penyimpangan ataupun guna menghindari adanya praktek-praktek yang mengakibatkan terjadinya kergian negara.
Pada dasarnya Badan Pemeriksa Keuangan bertugas melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan negara. Dengan adanya pengawasan tersebut diharapkan tidak terjadi penyimpangan ataupun guna menghindari adanya praktek-praktek yang mengakibatkan terjadinya kergian negara.
Berdasarkan landasan hukumnya, kewenangan BPK
telah diatur dalam UUD 1945 pasal 23E, yaitu untuk memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab tentang keuangan Negara.. Selain itu dalam Undang-undang Nomor
15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara, ditegaskan pula tugas dan wewenang BPK untuk memeriksa tanggung jawab
Pemerintah tentang Keuangan Negara, memeriksa semua pelaksanaan APBN, dan
berwenang untuk meminta keterangan berkenaan dengan tugas yang diembannya. Di
sinilah peran BPK untuk senantiasa melaporkan hasil auditnya kepada lembaga
yang kompeten untuk pemberantasan korupsi. Validitas data BPK dapat dijadikan
data awal bagi penegak hukum untuk melakukan penyidikan atas indikasi korupsi
yang dilaporkan. Laporan BPK yang akurat juga akan menjadi alat bukti dalam
pengadilan. Bukti peran BPK cukup berpengaruh besar terhadap proses penindakan
kasus-kasus korupsi yaitu banyak proses hukum akan terhambat jika hasil audit
BPK tidak kunjung selesai.
Memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara.
Hasil pemeriksaan itu diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan
kewenangannya. Badan Pemeriksa Keuangan memeriksa semua pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara. Pelaksanaan pemeriksaan dilakukan berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang ada dalam undang-undang.
Kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yaitu
:
1. Badan
Pemeriksa Keuangan adalah badan yang memeriksa tanggung jawab tentang keuangan
negara, yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah, akan tetapi tidak berdiri di atas pemerintah.
2. Badan
Pemeriksa Keuangan adalah lembaga tertinggi Negara yang dalam pelaksanaan
tugasnya terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah, akan tetapi tidak
berdiri di atas pemerintah.
C.Fungsi dan wewenang Badan Pemeriksa Keuangan
BPK
adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan
tanggungjawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam UUD RI tahun 1945.
BPK bertugas memeriksa dan bertanggungjawab keuangan
Negara yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara
lainnya, Bank Indonesia, BUMN,, Badan Layanan Umum, BUMD, dan lembaga atau
badan lain yang mengelola keuangan Negara berdasarkan undang-undang tentang
pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara. Pemeriksaan BPK
mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan
tujuan tertentu sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara yang hasil
pemeriksaannya diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya
untuk ditindaklanjuti. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsure pidana, BPK
melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan paling lama satu bulan sejak diketahui adanya
unsure pidana tersebut untuk dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik
yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam kedudukan yang semakin kuat dan
kewenangan yang makin besar itu, fungsi BPK itu sebenarnya pada pokoknya tetap
terdiri atas tiga bidang[5],
yaitu:
a. Fungsi
operatif, yaitu berupa pemeriksaan, pengawasan, dan penyelidikan atas
penguasaan, pengurusan dan pengelolaan kekayaan atas negara.
b. Fungsi
yudikatif, yaitu berupa kewenangan menuntut perbendaharaan dan tuntutan ganti
rugi terhadap perbendaharawan dan pegawai negeri bukan bendahara yang karena
perbuatannya melanggar hokum atau melalaikan kewajiban yang menimbulkan
kerugian keuangan dan kekayaan negara.
c. Fungsi
advisory, yaitu memberikan pertimbangan kepada pemerintah mengenai pengurusan
dan pengelolaan keuangan negara.
Dalam melaksanakan tugas pemeriksaan, BPK
berwenang:
a.
Menentukan objek pemeriksaan, merencanakan dan
melaksanakan pemeriksaan, menetukan waktu dan metode pemeriksaan serta menyusun
dan menyajikan laporan pemeriksaan.
b.
Meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib
diberikan oleh setiap orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, dan lembaga negara lainnya.
c.
Melakukan pemeriksaan ditempat penyimpanan uang
dan barang milik negara, ditempat pelaksanaan kegiatan, pembukuan dan tata
usaha keuangan negara, serta pemeriksaan terhadap perhitungan-perhitungan,
surat-surat, bukti-bukti, rekening koran, pertanggungjawaban, dan daftar
lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan Negara.
d.
Menetapkan jenis dokumen, data serta informasi
mengenai pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara yang wajib disampaikan
kepada BPK.
e.
Menetapkan standar pemeriksaan keuangan negara
setelah konsultasi dengan Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah yang wajib
digunakan dalam pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara.
f.
Menetapkan kode etik dan pemeriksaan
pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara.
g.
Menggunakan tenaga ahli dan /atau tenaga
pemeriksa diluar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK.
h.
Membina jabatan fungsional pemeriksa.
i.
Memberikan pertimbangan atas Standar Akuntansi
Pemerintahan.
j.
Memberi pertimbangan atas rancangan sistem
pengendalian intern Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah.
Dalam hal penyelesaian
kerugian negara/daerah, BPK berwenang untuk menilai dan/atau menetapkan jumlah
kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hokum baik sengaja
maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelolaan Badan Usaha Milik Negara/Badan
Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggaraan
pengelolaan keuangan Negara serta memantau penyelesaian ganti kerugian negara/daerah
yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap pegawai negeri bukan bendahara atau pejabat lain,
pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah kepada daerah, pengelolaan
BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara yang
telah oleh ditetapkan BPK serta pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah
yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap untuk diberitahukan secara tertulis kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai
dengan kewenangannya.
Selain itu, BPK juga
mempunyai kewenangan untuk memberikan pendapat kepada DPR, DPD dan DPRD,
Pemerintah pusat/Pemerintah Daerah, Lembaga negara lain, Bank Indonesia, BUMN,
Badan Layanan Umum, BUMD, Yayasan, dan Lembaga atau badan lain, yang diperlukan
karena sifat pekerjaannya, memberikan pertimbangan atas penyelesaian kerugian negara/daerah
yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah serta meberikan
keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah.
D.Pola Hubungan antara Badan Pemeriksa Keuangan
dengan Lembaga lain
1. Hubungan Antara BPK-RI Dan MPR-RI
Sejak
dilakukan amandemen terhadap Undang Undang Dasar 1945 oleh MPR-RI, BPK-RI
meningkatkan hubungan kerja dengan MPR-RI, di antaranya melalui Rapat Kerja
antara Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja (BP) MPR-RI dan BPK-RI yang
diselenggarakan pada tanggal 16 Februari 2000. Hubungan kerja dimaksud,
diselenggarakan terutama dalam rangka perumusan materi Bab dan atau pasal-pasal
tentang ”Hal Keuangan”, dan materi Bab dan ataupasal-pasal tentang “Badan
Pemeriksa Keuangan” yang akan dimuat dalam “Amandemen Undang Undang Dasar
1945”.
Hasil konsultasi antara PAH-I BP MPR-RI dan
BPK-RI pada bulan Februari 2000, adalah kesepakatan antara PAH-I BP MPR-RI dan
BPK-RI untuk mengusulkan kepada Sidang Paripurna MPR-RI dua pasal baru mengenai
BPK-RI dalam Undang Undang Dasar 1945 yang diamandemen.
·
Pasal
pertama; mengukuhkan kedudukan BPKRI sebagai
satu-satunya lembaga pengawas dan pemeriksa keuangan negara, dan sekaligus
menentukan bahwa BPK-RI berkedudukan baik di Ibukota Negara dan di ibukota
provinsi.
·
Pasal
kedua; mengatur kembali pemilihan anggota dan pimpinan
BPK-RI.
Sebagai
tindak lanjut hasil Rapat Kerja antara PAH-I BP MPRRI dan BPK-RI pada tanggal
16 Februari 2000, yang membahas Amandemen UUD 1945, BPK-RI menyampaikan usulan
materi satu pasal yang terdiri atas 3 ayat Bab IX tentang Badan Pemeriksa
Keuangan sebagai bahan Amandemen Undang Undang Dasar 1945
kepada Ketua PAH-I BP MPR-RI dengan Surat
BPK-RI Nomor: 26/S/I/4/2000 tanggal 3 April 2000. Materi pasal dimaksud beserta
dasar pemikirannya adalah sebagai berikut ini.
Ø Pasal 24 ayat (1)
Untuk
memeriksa pengelolaan dan pertanggungjawaban Pemerintah tentang Keuangan Negara
diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan
Undang-undang.
Ø Pasal 24 ayat (2)
Badan
Pemeriksa Keuangan adalah Lembaga Tinggi Negara yang terlepas dari pengaruh dan
kekuasaan Pemerintah, DPR dan Lembaga Tinggi Negara lain (independen); Badan
itu bukanlah pula Badan yang berdiri di atas Pemerintah.
Badan
Pemeriksa Keuangan berkedudukan di Ibukota Negara dan memiliki Perwakilan yang
berkedudukan di setiap Ibukota Provinsi.
Ø Pasal 24 ayat (3)
Hasil
pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan diberitahukan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Perubahan
Ketiga Undang Undang Dasar 1945 yang ditetapkan oleh MPR-RI pada tanggal 9
November 2001, memuat pengaturan tentang BPK-RI dalam satu Bab, yaitu “Bab
VIIIA” yang terdiri dari tiga pasal yaitu :
Ø
Pasal
23E
1) Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yangbebas dan
mandiri.
2) Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya.
3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh
lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang.
Ø Pasal 23F
1) Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh
Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
Daerah dan diresmikan oleh Presiden.
2) Pimpinan
Badan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan oleh anggota.
Ø
Pasal
23G
1) Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibu
kota negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.
2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa
Keuangan diatur dengan undang-undang.
2. Hubungan Antara BPK-RI Dan DPR-RI/DPRD
a.
Hubungan
Dengan DPR-RI
Hubungan
antara BPK-RI dengan DPR-RI terjadi karena kewajiban BPK-RI memberitahukan
hasil pemeriksaannya kepada DPR-RI sebagai bahan pelaksanaan tugasnya mengawasi
penyelenggaraan Pemerintahan termasuk pengelolaan keuangan
negara. Untuk mengatur tata cara penyerahan
hasil pemeriksaan BPKRI telah disusun Kesepakatan Bersama antara Pimpinan
BPK-RI dan DPR-RI tanggal 25 Januari 1977 yang dikukuhkan kembali dengan
Ketetapan MPR-RI No.III/TAP/MPR/1978 Pasal 10 ayat (3) mengatur mengenai :
pemberitahuan hasil pemeriksaan BPK-RI, penyampaian Buku HAPSEM BPK-RI kepada
DPR-RI, dan pertemuan-pertemuan
lain dalam hal diperlukan bahan-bahan atau
penjelasan khusus tentang suatu masalah yang menyangkut keuangan negara dan
yang menjadi kewenangan BPK-RI.
b. Hubungan Dengan DPRD
Pasal
23E ayat (2) Perubahan Ketiga Undang Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa
hasil pemeriksaan BPK-RI antara lain diserahkan kepada DPRD. Hubungan antara
BPK-RI dan DPRD sebenarnya merupakan hubungan tiga pihak tiga pihak yakni: (1)
Kepala Daerah sebagai pihak yang wajib menyusun Laporan Keuangan, (2) BPK-RI
sebagai pihak yang wajib melakukan audit (mandatory audit), dan (3) DPRD
sebagai pihak yang akan menggunakan Laporan Keuangan. Hubungan dimaksud
merupakan hubungan saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan ataupun
ditiadakan, dalam hubungan ini BPK-RI memegang peranan sentral karena berada di
tengah.
3.
Hubungan Antara BPK-RI Dan Pemerintah
Hubungan
kerja antara BPK-RI dan Pemerintah merupakan hubungan antara pemeriksa
independen dan auditee yang berkaitan dengan tugas konstitusional BPK-RI, yaitu
memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab Pemerintah tentang Keuangan Negara. Di
samping itu, BPK-RI juga menyelenggarakan fungsi yang terkait
dengan kewenangan Pemerintah, yaitu memberikan
rekomendasi terhadap proses tuntutan perbendaharaan (TP) dan memberikan
pertimbangan atas penyelesaian tuntutan ganti rugi (TGR) yang dilaksanakan oleh
Pemerintah.
i.
Hubungan
BPK-RI Dengan Kejaksaan Agung
Dalam
rangka mendukung optimalisasi pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing
lembaga secara seimbang dan proporsional dalam mewujudkan penyelenggaraan
negara yang bersih dan bebas dari KKN, maka BPK-RI memandang perlu untuk
mengadakan suatu bentuk kerja sama dengan Kejaksaan Agung dengan tujuan agar
dapat dicapai suatu koordinasi kerja yang baik dalam melakukan tindakan hukum
atas temuan-temuan pemeriksaan BPK-RI atas pengurusan keuangan negara yang
diduga terdapat sangkaan tindak pidana korupsi, untuk dapat diproses secara
cepat, tepat dan tuntas dengan menggunakan instrumen pidana atau perdata. Kerja
sama tersebut dituangkan dalam suatu Kesepakatan Bersama Ketua BPK-RI dengan
Jaksa Agung RI tanggal 19 Juni 2000. Berdasarkan Kesepakatan Bersama tersebut
dan sebagai wujud dari pelaksanaan ketentuan Pasal 3 UU Nomor 5 Tahun 1973,
BPKRI dalam kurun waktu 1998 s.d Maret 2004 telah menyampaikan 12 buah Hasil
Pemeriksaan yang berindikasikan tindak pidana korupsi kepada Kejaksaan Agung
untuk segera dapat dilakukan langkahlangkah yuridis.
ii.
Hubungan
BPK-RI Dengan Kepolisian
Berdasarkan
ketentuan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1973 berikut penjelasan-nya, BPK-RI juga
melakukan hubungan kerja dengan pihak Kepolisian, terutama dalam upaya untuk
memproses lebih lanjut temuan pemeriksaan BPK-RI yang berindikasikan tindak
pidana korupsi (TPK).
4. Hubungan BPK-RI Dengan Mahkamah Agung
BPK-RI melakukan hubungan kerja dengan Mahkamah
Agung (MA), terutama berkaitan dengan permohonan pertimbangan hukum atas
hasil-hasil pemeriksaan yang dilakukan BPK-RI.
5. Hubungan Antara BPK-RI Dan Komisi
Pemberantasan Korupsi
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(KPK) yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, bertugas
antara lain memonitor para penyelenggara Pemerintahan Negara. Dalam
melaksanakan tugas tersebut, KPK berkewajiban menyusun Laporan Tahunan dan
menyampaikannya antara lain
kepada BPK-RI.
6.Hubungan Antara BPK dengan DPR dan DPD
BPK merupakan lembaga yang bebas dan mandiri
untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara dan
hasil pemeriksaan tersebut diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD. Dengan
pengaturan BPK dalam UUD, terdapat perkembangan yaitu menyangkut perubahan
bentuk organisasinya secara struktural dan perluasan jangkauan tugas
pemeriksaan secara fungsional. Karena saat ini pemeriksaan BPK juga terhadap
pelaksanaan APBN di daerah-daerah dan harus menyerahkan hasilnya itu selain pada
DPR juga pada DPD dan DPRD.
Selain dalam kerangka pemeriksaan APBN,
hubungan BPK dengan DPR dan DPD adalah dalam hal proses pemilihan anggota BPK.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan Uraian-uraian pembahasan
sebelumnya, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1.
Sejarah terbentuknya Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) secara resmi pertama kali berdiri pada tanggal 1 Januari 1947
(berkedudukan sementara di Magelang) dengan dasar hukum berupa Surat Penetapan
Pemerintah No.11/OEM tanggal 28 Desember 1946 tentang pembentukan Badan
Pemeriksa Keuangan. Dengan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia
Serikat (RIS) berdasarkan Piagam Konstitusi RIS tanggal 14 Desember 1949, maka
dibentuk Dewan Pengawas Keuangan (berkedudukan di Bogor). Dengan terbentuknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950, maka Dewan
Pengawas Keuangan RIS yang berada di Bogor sejak tanggal 1 Oktober 1950
digabung dengan Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUDS 1950 dan berkedudukan
di Bogor. Selanjutnya dengan adanya Dekrit Presiden RI pada Tanggal 5 Juli 1959
yang menyatakan berlakunya kembali UUD Tahun 1945, maka Dewan Pengawas Keuangan
berdasarkan UUD 1950 kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan Pasal
23 (5) UUD Tahun 1945. Dalam era Reformasi sekarang ini, Badan Pemeriksa
Keuangan telah mendapatkan dukungan konstitusional dari MPR RI dalam Sidang
Tahunan Tahun 2002 yang memperkuat kedudukan BPK RI sebagai lembaga pemeriksa
eksternal di bidang Keuangan Negara, yaitu dengan dikeluarkannya TAP MPR
No.VI/MPR/2002 yang antara lain menegaskan kembali kedudukan Badan Pemeriksa
Keuangan sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan negara dan
peranannya perlu lebih dimantapkan sebagai lembaga yang independen dan
profesional.Untuk menunjang tugasnya, BPK RI didukung dengan seperangkat
Undang-Undang di bidang Keuangan Negara, yaitu:
- UU No.17 Tahun 2003 Tentang keuangan Negara
- UU No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara
- UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
- UU No.17 Tahun 2003 Tentang keuangan Negara
- UU No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara
- UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
2.
Kedudukan BPK dalam sistem ketatanegaraan
indonesia yaitu
terdapat dalam pasal 2 yang berbunyi :
BPK merupakan satu lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa
pengelolaan dan tanggungjawab keuangan Negara.
Sedangkan
pasal 3 berbunyi:
·
BPK berkedudukan diibukota Negara.
·
BPK memiliki perwakilan disetiap provinsi.
·
Pembentukan perwakilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan BPK dengan mempertimbangkan kemampuan
keuangan Negara.
Kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yaitu
:
1)
Badan Pemeriksa Keuangan adalah badan yang
memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara, yang dalam pelaksanaan
tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, akan tetapi tidak berdiri
di atas pemerintah.
2)
Badan Pemeriksa Keuangan adalah lembaga
tertinggi Negara yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh dan
kekuasaan pemerintah, akan tetapi tidak berdiri di atas pemerintah.
3.
Dalam kedudukan yang semakin kuat dan
kewenangan yang makin besar itu, fungsi BPK itu sebenarnya pada pokoknya tetap
terdiri atas tiga bidang, yaitu:
·
Fungsi operatif, yaitu berupa pemeriksaan,
pengawasan, dan penyelidikan atas penguasaan, pengurusan dan pengelolaan
kekayaan atas negara.
·
Fungsi yudikatif, yaitu berupa kewenangan
menuntut perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi terhadap perbendaharawan dan
pegawai negeri bukan bendahara yang karena perbuatannya melanggar hokum atau
melalaikan kewajiban yang menimbulkan kerugian keuangan dan kekayaan negara.
·
Fungsi advisory, yaitu memberikan pertimbangan
kepada pemerintah mengenai pengurusan dan pengelolaan keuangan negara.
Dalam melaksanakan tugas pemeriksaan, BPK
berwenang:
a.
Menentukan objek pemeriksaan, merencanakan dan
melaksanakan pemeriksaan, menetukan waktu dan metode pemeriksaan serta menyusun
dan menyajikan laporan pemeriksaan.
b.
Meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib
diberikan oleh setiap orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, dan lembaga negara lainnya.
c.
Melakukan pemeriksaan ditempat penyimpanan uang
dan barang milik negara, ditempat pelaksanaan kegiatan, pembukuan dan tata
usaha keuangan negara, serta pemeriksaan terhadap perhitungan-perhitungan,
surat-surat, bukti-bukti, rekening koran, pertanggungjawaban, dan daftar
lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan Negara.
d.
Menetapkan jenis dokumen, data serta informasi
mengenai pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara yang wajib disampaikan
kepada BPK.
e.
Menetapkan standar pemeriksaan keuangan negara
setelah konsultasi dengan Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah yang wajib
digunakan dalam pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara.
f.
Menetapkan kode etik dan pemeriksaan
pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara.
g.
Menggunakan tenaga ahli dan /atau tenaga
pemeriksa diluar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK.
h.
Membina jabatan fungsional pemeriksa.
i.
Memberikan pertimbangan atas Standar Akuntansi
Pemerintahan.
j.
Memberi pertimbangan atas rancangan sistem
pengendalian intern Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah.
4.
Pola hubungan antara BPK dengan lembaga
lainnya,antara lain:
1. Hubungan
Antara BPK-RI Dan MPR-RI
Sejak dilakukan amandemen terhadap Undang
Undang Dasar 1945 oleh MPR-RI, BPK-RI meningkatkan hubungan kerja dengan
MPR-RI, di antaranya melalui Rapat Kerja antara Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan
Pekerja (BP) MPR-RI dan BPK-RI yang diselenggarakan pada tanggal 16 Februari
2000. Hubungan kerja dimaksud, diselenggarakan terutama dalam rangka perumusan
materi Bab dan atau pasal-pasal tentang ”Hal Keuangan”, dan materi Bab dan
ataupasal-pasal tentang “Badan Pemeriksa Keuangan” yang akan dimuat dalam
“Amandemen Undang Undang Dasar 1945”.
2.Hubungan
Antara BPK-RI Dan DPR-RI/DPRD
a. Hubungan Dengan DPR-RI
Hubungan antara BPK-RI dengan DPR-RI terjadi
karena kewajiban BPK-RI memberitahukan hasil pemeriksaannya kepada DPR-RI
sebagai bahan pelaksanaan tugasnya mengawasi penyelenggaraan Pemerintahan
termasuk pengelolaan keuangan negara.
b. Hubungan Dengan DPRD
Pasal 23E ayat (2) Perubahan Ketiga Undang
Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa hasil pemeriksaan BPK-RI antara lain
diserahkan kepada DPRD. Hubungan antara BPK-RI dan DPRD sebenarnya merupakan
hubungan tiga pihak tiga pihak yakni: (1) Kepala Daerah sebagai pihak yang
wajib menyusun Laporan Keuangan, (2) BPK-RI sebagai pihak yang wajib melakukan audit
(mandatory audit), dan (3) DPRD sebagai pihak yang akan menggunakan Laporan
Keuangan.
3. Hubungan Antara BPK-RI Dan Pemerintah
Hubungan kerja antara BPK-RI dan Pemerintah
merupakan hubungan antara pemeriksa independen dan auditee yang berkaitan dengan
tugas konstitusional BPK-RI, yaitu memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
Pemerintah tentang Keuangan Negara.
4.
Hubungan BPK-RI Dengan Mahkamah Agung
BPK-RI melakukan hubungan kerja dengan Mahkamah
Agung (MA), terutama berkaitan dengan permohonan pertimbangan hukum atas
hasil-hasil pemeriksaan yang dilakukan BPK-RI.
5.
Hubungan Antara BPK-RI Dan Komisi Pemberantasan Korupsi Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002, bertugas antara lain memonitor para penyelenggara Pemerintahan
Negara. Dalam melaksanakan tugas tersebut, KPK berkewajiban menyusun Laporan
Tahunan dan menyampaikannya antara lain kepada BPK-RI.
6.Hubungan
Antara BPK dengan DPR dan DPD
BPK
merupakan lembaga yang bebas dan mandiri untuk memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab tentang keuangan negara dan hasil pemeriksaan tersebut
diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD. Dengan pengaturan BPK dalam UUD, terdapat
perkembangan yaitu menyangkut perubahan bentuk organisasinya secara struktural
dan perluasan jangkauan tugas pemeriksaan secara fungsional. Karena saat ini
pemeriksaan BPK juga terhadap pelaksanaan APBN di daerah-daerah dan harus
menyerahkan hasilnya itu selain pada DPR juga pada DPD dan DPRD. Selain dalam
kerangka pemeriksaan APBN, hubungan BPK dengan DPR dan DPD adalah dalam hal
proses pemilihan anggota BPK.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie Jimly. Perkembangan dan
Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta:Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.2006.
Huda
ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta:Grafindo.2012
Tjandra,
Riawan. Hukum Keuangan Negara. Jakarta: Gramedia Widiasarana.2006
Joeniarto.
Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.1996
Asshiddiqie
Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme…,op.cit.,
hlm.153.
Undang-undang
Dasar 1945
[1]
Jimly Asshiddiqie, konstitusi & konstitusionalisme…,op.cit., hlm.153.
[2]
Muhammad Yamin,1971,hlm.311.
[3]
Bonar Sidjabat,1968,hlm.9-10.
[4]
DHendianto, Biro Hukum BPK-RI,11/3/2006
Sumber : http://rodlial.blogspot.co.id/2014/02/makalah-tentang-badan-pemeriksa-keuangan.html
0 Comments