Kerinduan kepada Burung Citarum

Editornurulloh Oleh Cornelius Helmy 

BANDUNG, KOMPAS.com — Aliran Sungai Citarum yang membelah wilayah delapan kota dan kabupaten di Jawa Barat sesungguhnya anugerah. Citarum tidak hanya menjadi sumber air bagi irigasi, tapi juga bagi pembangkit listrik, bahkan saluran pembuangan limbah bagi perusahaan nakal di sepanjang Citarum. Sungai terpanjang di Jawa Barat beserta anak sungai menjadi rumah bagi 314 jenis burung. Namun, seiring hancurnya lingkungan Citarum mulai dari hulu hingga hilir, perlahan burung pun menjauhi sungai itu. Mereka mencari lingkungan yang mampu menopang hidup mereka. ”Citarum yang pernah jadi ’surga’ kini menjadi tempat menyeramkan bagi burung,” ujar ornitolog alias pakar ilmu burung, Johan Iskandar (57). Dia merasakan benar rasa rindu itu. Dahaganya terpuaskan saat melihat kembali kuntul kerbau dan blekok di Kota Bandung. Kedua burung itu dulu banyak terlihat di Citarum dan anak-anak sungainya. Namun, terdesak pembangunan, pencemaran air, dan aktivitas manusia lainnya, keberadaan kuntul kerbau dan blekok pun tak terlacak. Hingga sekitar beberapa tahun lalu, Johan mendapat kabar bahwa blekok (Ardeola speciosa) dan kuntul kerbau (Bubulcus ibis) berkembang biak dengan baik di empat rumpun bambu besar di Kampung Rancabayawak, Kelurahan Cisaranten Kulon, Kecamatan Gedebage, Kota Bandung. Ratusan blekok dan kuntul kerbau hidup berbaur dengan masyarakat setempat yang tinggal di antara dua aliran sungai anak Citarum, Cinambo dan Cisaranten. ”Sore hari saat mereka pulang setelah mencari makan, adalah saat terindah,” katanya. Selain daya jelajah yang bisa mencapai lebih dari seratusan kilometer, khusus keberadaan kuntul kerbau sangat penting bagi ekosistem sawah. Mereka memakan hama serangga dan ulat yang rentan merusak tanaman padi. Namun, yang lebih penting, keberadaan kuntul adalah bukti masih sehatnya lingkungan di sekitar. ”Kehadiran mereka bisa jadi momentum warga Bandung melestarikan lingkungan ekosistem sungai yang kini ternoda oleh limbah berat dan sampah rumah tangga,” kata Johan. Pertemuan Bagi Johan, Citarum dengan anak sungainya adalah tempat yang mempertemukannya dengan dunia burung. Secara tidak sengaja ia diminta profesornya di Universitas Padjadjaran, Bandung, Prof Dr Ir Otto Soemarwoto, mendampingi mahasiswa dari Universitas Wagenigen Belanda bernama Bastian van Helvoort, yang hendak melakukan penelitian burung di DAS Citarum tahun 1975. Bastian ingin mengisi kekosongan penelitian burung di Citarum yang dilakukan Hoogerwerf pada tahun 1948.


Awalnya, Johan hanya menjadi pendamping Bastian untuk memenuhi keperluan sehari-hari, seperti menyediakan tempat tinggal atau berinteraksi dengan masyarakat setempat. Namun, pengetahuan masa kecil tentang burung ternyata memegang peranan penting bagi kepentingan penelitian Bastian. Besar sebagai anak desa di Purwakarta memberikan pengetahuan tentang beragam jenis burung hanya dari suara atau kekhasan tingkah lakunya. Ia biasanya memberikan nama daerah, suara, dan kriteria fisik kemudian dicocokan dengan buku lapangan mengenal jenis-jenis burung di alam milik Bastian. Contohnya, burung gagak (Corvus enca), cipeuw (Aegithina tiphia), dan perkutut (Geopelia striata). Ada juga yang khas tingkah lakunya seperti manuk jantung (Arachnotera longirostra) dan manuk apung (Mirafra javanica). Belum akrab Di luar dugaan, Bastian terkesan dengan kemampuan Johan. Bastian lantas merekomendasikan Johan mendapatkan program kursus tentang Ekologi Burung (ornitologi) selama delapan bulan di Belanda pada tahun 1983/1984. Beragam jenis burung dari berbagai daerah, seperti di Wageningen, Leiden, dan Utrecht lantas ia data dan kenali aktivitasnya. Johan begitu terkesan dengan minat Belanda pada burung meski jumlahnya jauh lebih sedikit ketimbang Indonesia. Pulang ke Indonesia tahun 1984, ia menjadi satu dari sedikit ornitolog di Indonesia. Kiprahnya di Tanah Air dilanjutkan dengan mendata ratusan jenis burung di Citarum, Cimanuk, Citanduy, dan Ciliwung. Johan mengaku banyak belajar dari masyarakat setempat tentang ciri atau jenis kelamin burung yang diamatinya. ”Masyarakat di beberapa daerah sudah sadar benar dengan perlindungan burung. Mereka percaya, burung bisa memberikan banyak pertanda dalam kehidupan,” katanya. Akan tetapi, ia merasa terpukul saat tak kuasa berbuat maksimal melindungi populasi burung kowak malam (Nycticorax nycticorax) di Kota Bandung. Keberadaan mereka tidak diterima masyarakat yang tinggal di sekitar Kebun Binatang Bandung dan Institut Teknologi Bandung, yang notabene dekat dengan Sungai Cikapundung. ”Masyarakat terganggu dengan kotoran yang bau. Bahkan, sempat ada yang mengusulkan agar burung itu ditembak sehingga lekas pergi ke tempat lain,” katanya. Agar niat buruk itu tidak terlaksana, dibantu beberapa rekan, Johan berusaha memindahkan kawanan yang jumlahnya mencapai 1.073 ekor dengan berbagai cara yang lebih bersahabat. Di antaranya, memasang jaring ditalikan di balon gas untuk menangkap burung kowak malam dewasa, memindahkan anaknya ke tempat lain, dan mengusirnya dengan bunyi riuh kaleng. Dana yang digunakan untuk membiayainya kebanyakan berasal dari koceknya sendiri.


”Cara itu cukup efektif karena kawanan burung itu pindah ke daerah Pindad Kiaracondong dan Cibeureum, Kota Bandung. Namun, kabar terakhir, keberadaan mereka tidak terlacak,” katanya. Pelajaran Hilangnya habitat burung kowak malam, menurut Johan, seharusnya memberikan pelajaran bagi pemerintah untuk mencari cara melindungi keberadaan hewan langka. Salah satunya yang hingga kini tidak pernah terwujud adalah usulan perlindungan jenis burung berdasarkan familinya. Intinya, bila ada salah satu spesies dari famili tertentu sudah dilindungi, maka spesies lainnya otomatis dilindungi. ”Belum terlaksananya aturan itu justru menyuburkan penyeludupan burung. Di Papua, penyelundup kerap mengecat burung cenderawasih dengan warna hitam agar jenisnya tidak diketahui petugas pengawasan,” katanya. Perlindungan lain adalah penataan vegetasi tempat hidup burung. Salah satu contohnya adalah pencemaran di Citarum. Fakta itu, menimbulkan ancaman dari berbagai lini. Banyak burung terancam mati, cacat, dan sulit berkembang biak karena terpapar limbah berbahaya. ”Bila terus dibiarkan, besar kemungkinan kepunahan burung khas Citarum akan terjadi. Penyesalan tidak akan cukup ampuh membayar kerinduan pada kicauan burung liar,” katanya. 

Johan Iskandar 
Lahir: Purwakarta, 7 Agustus 1953 
Pekerjaan: Dosen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, dan Pascasarjana Universitas Padjadjaran, serta peneliti PPSDAL/Institute of Ecology, Universitas Padjadjaran. 
Istri: Budiawati Supangkat (52) 
Anak: Oktarian Iskandar (20), Septabian Iskandar (17), Oktabrian Iskandar (16)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kerinduan kepada Burung Citarum", https://regional.kompas.com/read/2011/05/04/16303137/twitter.com?page=3.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kerinduan kepada Burung Citarum", https://regional.kompas.com/read/2011/05/04/16303137/twitter.com?page=2.
Awalnya, Johan hanya menjadi pendamping Bastian untuk memenuhi keperluan sehari-hari, seperti menyediakan tempat tinggal atau berinteraksi dengan masyarakat setempat. Namun, pengetahuan masa kecil tentang burung ternyata memegang peranan penting bagi kepentingan penelitian Bastian. Besar sebagai anak desa di Purwakarta memberikan pengetahuan tentang beragam jenis burung hanya dari suara atau kekhasan tingkah lakunya. Ia biasanya memberikan nama daerah, suara, dan kriteria fisik kemudian dicocokan dengan buku lapangan mengenal jenis-jenis burung di alam milik Bastian. Contohnya, burung gagak (Corvus enca), cipeuw (Aegithina tiphia), dan perkutut (Geopelia striata). Ada juga yang khas tingkah lakunya seperti manuk jantung (Arachnotera longirostra) dan manuk apung (Mirafra javanica). Belum akrab Di luar dugaan, Bastian terkesan dengan kemampuan Johan. Bastian lantas merekomendasikan Johan mendapatkan program kursus tentang Ekologi Burung (ornitologi) selama delapan bulan di Belanda pada tahun 1983/1984. Beragam jenis burung dari berbagai daerah, seperti di Wageningen, Leiden, dan Utrecht lantas ia data dan kenali aktivitasnya. Johan begitu terkesan dengan minat Belanda pada burung meski jumlahnya jauh lebih sedikit ketimbang Indonesia. Pulang ke Indonesia tahun 1984, ia menjadi satu dari sedikit ornitolog di Indonesia. Kiprahnya di Tanah Air dilanjutkan dengan mendata ratusan jenis burung di Citarum, Cimanuk, Citanduy, dan Ciliwung. Johan mengaku banyak belajar dari masyarakat setempat tentang ciri atau jenis kelamin burung yang diamatinya. ”Masyarakat di beberapa daerah sudah sadar benar dengan perlindungan burung. Mereka percaya, burung bisa memberikan banyak pertanda dalam kehidupan,” katanya. Akan tetapi, ia merasa terpukul saat tak kuasa berbuat maksimal melindungi populasi burung kowak malam (Nycticorax nycticorax) di Kota Bandung. Keberadaan mereka tidak diterima masyarakat yang tinggal di sekitar Kebun Binatang Bandung dan Institut Teknologi Bandung, yang notabene dekat dengan Sungai Cikapundung. ”Masyarakat terganggu dengan kotoran yang bau. Bahkan, sempat ada yang mengusulkan agar burung itu ditembak sehingga lekas pergi ke tempat lain,” katanya. Agar niat buruk itu tidak terlaksana, dibantu beberapa rekan, Johan berusaha memindahkan kawanan yang jumlahnya mencapai 1.073 ekor dengan berbagai cara yang lebih bersahabat. Di antaranya, memasang jaring ditalikan di balon gas untuk menangkap burung kowak malam dewasa, memindahkan anaknya ke tempat lain, dan mengusirnya dengan bunyi riuh kaleng. Dana yang digunakan untuk membiayainya kebanyakan berasal dari koceknya sendiri.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kerinduan kepada Burung Citarum", https://regional.kompas.com/read/2011/05/04/16303137/twitter.com?page=2.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kerinduan kepada Burung Citarum", https://regional.kompas.com/read/2011/05/04/16303137/twitter.com.

0 Comments

S Pink Premium Pointer Cool Blue Outer Glow Pointer