REVIEW
ARTIKEL
Oleh :
Ichsan
Suwandhi
research group ecology SITH ITB
Phd student of tropical silviculture IPB
LANDSCAPE
ECOLOGY AND FOREST MANAGEMENT:
DEVELOPING
AN EFFECTIVE PARTNERSHIP
STAN
BOUTIN
1) AND DARYLL
HEBERT2)
1Alberta Pacific
Forest Industries Ltd., and Department of Biological Sciences, University of
Alberta,
Edmonton, Alberta, Canada T6G 2E9
2Encompass
Strategic Resources Inc., RR#2 599 Highway 21, South Creston, British Columbia,
Canada V0B 1G2
Sinopsis Artikel
Artikel ini
menyajikan informasi mengenai aplikasi ilmu Ekologi Lanskap untuk manajemen
hutan. Penulis telah melakukan pengujian
tentang seberapa besar kontribusi ekologi lanskap dalam praktek-praktek
pengelolaan hutan pada saat ini.
Penelitian yang telah
dilakukan ini mencakup dua lingkup umum, meliputi :
1) Studi
tentang fragmentasi : ditekankan pada dampak fragmentasi hutan terhadap konservasi
spesies.
2) Perkembangan
model-model proyeksi lanskap : ditekankan pada “patch dynamics” dan pengaruh
sebaran “patch-patch” terhadap proses-proses ekosistem.
Peneliti menekankan
pada perubahan-perubahan lanskap dan pengaruhnya terhadap kerusakan/kehilangan
konfigurasi habitat dalam hubungannya dengan konservasi spesies di dalam
lanskap-lanskap hutan. Model-model
proyeksi lanskap telah berkembang sangat pesat menjadi perangkat yang penting
dalam perencanaan pengelolaan hutan, model ini menggabungkan peran seorang ahli
ekologi laskap dengan perencana hutan untuk bekerja bersama-sama dalam rangka
memahami berbagai factor interaksi kunci mencakup aktivitas manusia, bentuk
pemandangan lanskap alam, dan proses-proses ekologi.
Pendahuluan
Ilmu-ilmu pengelolaan
sumberdaya alam seperti perikanan, hidupan liar dan kehutanan pada saat ini
telah berkembang dengan menggunakan pendekatan ekologi lanskap. Penggunaan
ekologi lanskap merupakan jawaban atas paradigma baru yang berkembang bahwa
penerapan prinsip-prinsip manajemen hutan perlu dilengkapi dengan
pendekatan-pendekatan ekologi lanskap untuk menyelesaikan berbagai permasalahan
data-data dan skala areal yang terbatas.
Dalam aplikasinya, ilmu ekologi lanskap ini dilengkapi dengan perangkat
teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG).
teknologi ini mampu untuk menyajikan dan mengolah data yang lebih besar
dan luas. Dalam suatu periode waktu yang
sama, dapat diketahui berbagai informasi ekologi seperti metapopulasi,
efek-efek tepi, dinamika patch dan teori perkolasi (Forman & Gordon, 1986;
Gardner & O’Neill, 1991; Gilpin & Hansky, 1991).
Pekerjaan seorang
ahli ekologi lanskap menjadi meningkat dalam biologi konservasi sehingga dua
bidang disiplin ilmu menjadi terpadu secara lengkap. Sangat penting untuk diketahui, bahwa
kehutanan sangat potensial untuk mengkaji lanskap, dan konservasi biodiversitas
di dalam lanskap hutan menjadi sebuah prioritas. Dalam perkembangannya, kehutanan memiliki
sejarah yang cukup panjang, mencakup perencanaan, pemanenan dan penyediaan kayu
jangka panjang.
Selama ini antara
pengelolaan hutan dan ekologi lanskap masing-masing berjalan sendiri, sehingga perpaduan
keduanya menjadi penting dalam rangka menyelesaikan maslah-masalah yang
dihadapi dunia kehutanan terutama terkait dengan bagaimana mengoptimalkan
lanskap hutan untuk keberlangsungan proses-proses ekologi di dalamnya.
Apa itu Ekologi Lanskap ?
Istilah
“landscape
ecology” selama ini memang cenderung asing bagi pengelola hutan baik
istilah
maupun kegunaannya. Definisi paling
sederhana untuk “landscape” (baca : lanskap) adalah sebaran
kebervariasian
area, dan yang penting dalam ha ini adalah sebaran alami dari
kebervariasian
tersebut dan bagaimana pengaruhnya terhadap proses-proses ekologi.
Lanskap memiliki “emergent measurements” yang terkait dengan ukuran,
distribusi, konfigurasi dan keterhubungan dari
“patch-patch”(Whein et al, 1993) ditambahkan pula oleh Lidicker (1995)
bahwa
lanskap meliputi parameter-parameter edge
effect, interpatch fluxes of energy,
nutrisi dan organism, serta stabilitas konfigurasi patch.
Kondisi Saat Ini : Manajemen Hutan dan Ekologi Lanskap
Manajemen hutan telah
mengalami sebuah konsep besar setelah lebih 10 tahun yang dapat dinyatakan
sebagai masa transisi dari produksi serat dan spesies satwa liar ke penyediaan
nilai-nilai, termasuk pemeliharaan keanekaragaman hayati (Kohm & Franklin,
1997). Manajemen ekosistem sebagai
pendekatan yang digunakan untuk mencapai tujuan ini dan sebagai dasar dalam
pengelolaan unit-unit dalam skala ruang yang luas dan waktu yang panjang. Skala ruang sering diidentikkan dengan
skala-skala lanskap dengan asumsi dasar bahwa ekologi lanskap adalah bagian
mendasar dari manajemen ekosistem.
Pada dasarnya
terdapat dua aspek penting yang digunakan sebagai pendekatan untuk mengetahui
seberapa jauh pengaruh heterogenitas ruang-ruang terhadap proses-proses
ekologi, adalah : 1) pendekatan fragmentasi hutan (forest fragmentation approach) dan 2) pendekatan dinamika tegakan hutan (patch dynamics approach).
Fragmentasi Hutan
Fragmentasi habitat
terjadi apabila suatu habitat yang spesifik mengalami pemisahan menjadi
beberapa bagian membentuk mosaic sehingga merubah ukuran, bentuk dan
keterhubungannya. Fragmentasi ini umum
disebabkan oleh perkembangan manusia menngunakan lahan hutan untuk kegiatan
pertanian.
Perhatian utama
ekologi lanskap disini adalah studi tingkat ketahanan spesies pada areal yang
terfragmentasi tersebut (patch).
Penebangan hutan sebagai praktek utama yang dilakukan di sector
kehutanan di seluruh dunia yang menjadi penyebab terbesar terjadinya fragmentasi
habitat, hal ini menyebabkan areal hutan menjadi tersekat-sekat dan
ukuran-ukurannya semakin mengecil.
Fragmentasi inilah kemudian digunakan sebagai parameter yang digunakan
dalam ekologi lanskap. Komponen-komponen
fragmentasi yang digunakan dalam ekologi lanskap, yaitu (Haila, 1986) :
1)
Tingkat kehilangan habitat (habitat loss), yaitu total habitat yang
hilang dari lanskap.
2)
Konfigurasi habitat (ukuran patch; isolasi)
Kedua faktor di atas
sangat berpengaruh terhadap tingkat kehadiran spesies, dan dalam praktek
manajemen hutan keduanya perlu dipisahkan karena kadang-kadang perhatian
masing-masing pengelola hutan berbeda atau hanya ditekankan pada salah satu faktor.
Studi-studi tentang
fragmentasi hutan dipusatkan pada dampak ukuran patch dan isolasi terhadap
kehadiran spesies-spesies terseleksi.
Sedikit studi-dtusi mencoba memisahkan pengaruh/dampak kehilangan
habitat dari keonfigurasi spasial. Sejumlah pendekatan telah diambil, yaitu
fragmen-fragmen ukuran variable dan derajat isolasi. Penilitian ini telah dilakukan oleh Debinski
dan Holt (2000), disimpulkan bahwa fragmen-fragmen yang berukuran kecil
cenderung mengandung sedikit spesies, rata-rata berpindah cukup tinggi, dan
terbentuk beberapa efek tepi (edges effect).
Pada kasus
percobaan-percobaan fragmentasi pada areal hutan, terdapat hal-hal yang
rumit. Percobaan yang telah dilakukan
menunjukkan fragmen-fragmen biasanya ditempatkan dalam suatu lanskap yang
memiliki habitat asli, hal ini mungkin tidak begitu penting bagi kasus penebangan berotasi (Schmiegelow et al,
1997). Hasil-hasil penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar percobaan fragmentasi dilakukan dengan waktu
singkat dari serangkaian skala suksesi hutan. Percobaan mengenai fragmentasi
ini memberikan kondisi terbaik untuk mengetahui pengaruh ukuran patch terhadap
kemampuan patch dalam menampung seberapa besar spesies. Semakin besar ukuran patch semakin baik dalam
menampung spesies-spesies.
Pada bagian di bawah
ini merupakan contoh hasil-hasil penelitian tentang hubungan berkurangnya suatu
area alami terhadap hilangnya habitat asli :
1)
McIntyre
and Hobbs (1999) have operationally defined fragmented landscapes as those
where natural habitat has dropped below 60% of the landscape; and relict
landscapes are those with < 10% of original habitat. Much of the work on
fragmentation has been conducted in relict landscapes where edge effects, patch
size, and patch configuration have strong effects on species persistence in the
remaining habitat (Saunders et al. 1991). McIntyre and Hobbs (1999) suggest
that forestry operations in native forests create examples of variegated
landscapes where natural habitat still represents > 60% of the landscape.
2)
Fahrig
(1997) has also suggested that the emphasis on habitat configuration is
‘‘misplaced’’ and that conservation efforts should focus on reducing habitat
loss. She used a spatially explicit
population model to show that total habitat amount had a far greater influence
on species persistence in landscapes than did configuration. Configuration had little effect as long as
suitable habitat made up > 20% of the landscape. Some observational studies
have tried to de-couple the effects of configuration from those of habitat
loss.
3)
Andre´n
(1994) reviewed studies of birds and mammals and concluded that the total area
of suitable habitat was of greater importance than spatial configuration,
particularly in landscapes with > 30% of suitable habitat left. The greater
importance of habitat amount relative to configuration seems to be a consistent
pattern, at least for forest birds (McGarigal and McComb 1995, Trzcinski et al.
1999, Drapeau et al. 2000, Flather et al. cited in Fahrig 2002). However,
Villard et al. (1999) found that fragmentation and habitat amount had roughly
equal influence in eastern deciduous forests within an agricultural matrix.
Fragmentation Studies And Forest Management Practices
Berdasarkan
hasil-hasil penelitiantentang fragmentasi dapat ditetapkan bentuk-bentuk
pengelolaan hutan yang lebih tepat.
Perencanaan hutan untuk mengkonservasi keanekaragaman hayati harus
memperhatikan kondisi habitat berdasarkan konfigurasi areal meliputi ukuran patch
dan koridor satwa minimal 20-30 % dari lanskap.
Given these recommendations, we provide a cautionary note. Most forest landscapes are more
complicated than the dichotomous habitat
and matrix design of landscape models and experiments. In particular, forests subject
to large-scale natural disturbance events are naturally fragmented, and old
forest may naturally comprise ,20% of a landscape (Bergeron and Harvey
1997). Seorang pengelola hutan harus memprioritaskan
konfigurasi habitat dalam menyusun perencanaan konservasi keanekaragaman hayati
di dalam lanskap dimana hutan-hutan akan menjadi bagian utama lanskap di masa
mendatang, mengelola habitat yang hilang adalah kemungkinan menjadi petunjuk
yang paling rasional. Selanjutnya
model-model dan data-data hasil pengamatan memberikan gambaran hubungan yang
signifikan antara hilangnya habitat dan pengaruh konfigurasi,
Pengaruh Lanskap dalam Habitat Spesies
Selain aktifitas
rutin pengelola hutan dalam mengkonservasi spesies-spesies melalui pemeliharaan
dan penjagaan kelayakan habitat, juga diperlukan identifikasi terhadap
spesies-spesies pada habitat khusus.Ekologi lanskap telah menambahkan dimensi
lain untuk proses ini melalui pendekatan konfigurasi spasial dapat berpengaruh
terhadap habitat. Beberapa spesies
teridentifikasi sebagai “interiror” specialist atau spesies yang membutuhkan
ukuran patch yang sempit. Hal ini member
dua implikasi terhadap pengelolaan hutan :
1) projections
of habitat supply for a particular species would have to be readjusted to exclude
patches below a minimum size.
2) Cutting
plans would need to be designed to create patches of adequate size and shape to
meet the requirements of ‘‘landscape-sensitive’’ species. These adjustments are
not substantive, given that patch size is commonly being tracked in most GIS forest inventories.
Patch Dynamics dan Model Proyeksi Lanskap Hutan
Suatu studi tentang
dampak-dampak fragmentasi dalam hutan yang dikelola telah mengambil beberapa
pemandangan statis dari ruang-ruang (patch) alami hutan. Sebagai contoh lanskap dimodel sebagai
patch-patch suatu matrik, dengan lokasi-lokasi spasial, patch-patch dan matrik
yang cenderung konstan. Hal ini secara
sempurna terlihat dalam bentuk-bentuk lanskap, tetapi hutan yang telah dikelola
(hutan tanaman) cenderung lebih dinamis dan dinamika mosaic-mosaik patch inilah yang dapat digunakan untuk memelihara
keanekaragaman spesies (Pickett & Rogers, 1997).
Ekologi lanskap
memiliki peran utama untuk mendeskripsi sebaran spasial dari bagian-bagian
penting hutan dalam skala-skala regional untuk pengelolaan hutan (Perera &
Euler, 2000). Ekologi lanskap juga
secara potensial dapat membantu kita memakai dampak-dampak sebaran spasial
terhadap keberlangsungan proses-proses ekologi (Pickett & Cadenasso, 1995).
Inventarisasi hutan
penting dilakukan untuk menghitung potensi penyediaan kayu. Lokasi-lokasi spasial dari area-area yang
berpotensi kayu tersebut sangat penting untuk pertimbangan pembangunan jalan
dan rencana pemanenannya. Selanjutnya
untuk jangka waktu pengelolaan yang panjang dan area yang luas, pendekatan
ekologi lanskap memiliki peran yang sangat strategis dalam pengelolaan hutan.
Model-model proyeksi
lanskap saat ini sudah berkembang sangat pesat dengan berbagai versi sebagai
perangkat yang strategis dalam manajemen hutan.
Model-model proyeksi lanskap ini disesuaikan dengan data-data potensi
hutan terkini dan proyeksinya ke depan.
Hasil penggunaan model ini memberikan informasi gambaran suksesi
vegetasi, rencana pemanenan kayu, teknis-teknis silvikultur dan gangguan-gangguan
hutan seperti kebakaran dan ledakan hama.
Tantangan utama
ekologi lanskap adalah begaimana menghasilkan lanskap-lanskap yang realistis,
hal ini berhubungan dengan penskalaan yang dilakukan mulai dari tingkat
individu suatu spesies, pohon atau tegakan menjai lanskap yang besar dan
menangkap sebaran berbagai proses ekologi.
Model ini akan
memberikan informasi secara cepat tentang bagaimana dampak praktek-praktek
penebangan pohon terhadap perubahan-perubahan komponen lanskap, meliputi ukuran
patch, batas-batas (edges) dan derajat keterhubungan (connectivity) serta
dampaknya terhadap proses-proses ekologi
Perbedaan Skenario dalam Manajemen Hutan akan
menghasilkan sebaran lanskap yang berbeda
Model-model proyeksi
lanskap menyajikan perubahan-perubahan lanskap di masa mendatang sesuai dengan
bentuk-bentuk pengelolaan yang diterapkan.
Berdasarkan hal ini maka seorang ekologi lanskap perlu bersama-sama
dengan pengelola hutan untuk menetapkan dan memilih bagaimana sebaran ruang
yang ada dan dampaknya terhadap proses-proses ekologi.
Swanson (1993) mengusulkan suatu pendekatan yang didasarkan
pada rancangan pengelolaan hutan untuk mengetahui lingkup variabilitas alami
berbagai tipe habitat, interaksinya dengan factor-faktor fisik dan
perlakuan-perlakuan yang digunakan dalam mengelola gangguan-gangguan.
Gangguan-gangguan
alami seperti kebakaran hutan secara umum perlu didekati dengan memahami karakteristiknya,
meliputi sebaran lokasi gangguan dan ukuran patch-patchanya. Gangguan hutan dalam hal ini akan berperan
penting dalam membuat sebaran patch-patchnya, batas (edges) dan konektivitasnya. Hal tersebut sangat penting bagi pengelola
hutan untuk mencoba menetapkan bentuk-bentuk aktivitas manusia yang dapat
dilakukan.
Tanggapan terhadap Artikel
Setelah membaca dan
mencermati isi artikel ini dapat ditarik suatu implikasi atau tindak lanjut
terkait dengan pengelolaan hutan Indonesia bahwa pengelola hutan memerlukan
pertimbangan ekologi lanskap dalam rangka menghasilkan bentuk pengelolaan hutan
yang optimal. Secara lebih spesifik
implikasi dari uraian-uraian di atas sebagai berikut :
1) Implikasi
dari dampak fragmentasi terhadap habitat perlu dijadikan dasar dalam
pengelolaan hutan dan konservasi keanekaragaman hayati pada masa sekarang dan
proyeksinya di masa mendatang
2) Ekologi
Lanskap perlu dipadukan dengan perencana hutan khususnya dalam menyusun
perencanaan kelestarian hutan dan prediksi-prediksi di masa mendatang akibat
fragmentasi.
3) Perubahan-perubahan
lanskap di suatu areal hutan perlu diperhatikan dalam manajemen hutan sebagai
komponen yang utama baik sebelum maupuns sesudah habitat hilang/rusak, sehingga
pengelola hutan dapat menetapkan tindakan yang tepat dan efektif untuk
merencanakan kegiatan-kegiatan ke depan.
4) Dalam
menerapkan model proyeksi lanskap hendaknya memperhatikan secara matang kondisi
tipe hutan, fungsi-fungsi hutan dan karakteristik spesifik di dalamnya. Bentuk proyeksi lanskap hutan produksi akan
berbeda dengan hutan lindung dan hutan konservasi.
http://ichsansuwandhi.blogspot.com/2012/10/review-artikel-ekologi-lanskap.html
0 Comments